Indonesia merupakan negara majemuk. Pada mana setiap suku, ras dan agama begitu beragam menjadi satu, berjalan rukun di bawah kendali Pancasila. Maka tak jarang kita temukan orang-orang yang berbeda suku, ras bahkan berbeda agama pun ada yang jatuh hati.
Ketika sudah saling mencintai, segala cara yang halal agar bisa bersama hingga mengarungi bahtera rumah tangga. Mereka tidak peduli perihal status pernikahan yang dilaksanakan. Muslim menikahi wanita Katolik. Muslimah dinikahi pria Budha misalnya. Adapun hukum pernikahan beda agama adalah haram. Ini sebagaimana penjelasan QS. al-Baqarah ayat 221 juga QS. al-Mumtahanah ayat 10 yang tegas menyatakan keharaman nikah beda agama.
Baca Juga: Selektif Memilih Pengobatan Alternatif
Menurut konsensus ulama, keharaman menikah beda agama adalah haram mutlak. Maksudnya, semua orang Islam haram menikah dengan non-Muslim (selain ahli kitab). Otomatis, ketika pernikahan itu masih tetap dipaksakan, maka seluruh hubungan yang dilakukan pasutri tersebut adalah haram, karena apa yang dilakukannya adalah perbuatan zina sebagaimana dijelaskan oleh Imam ath-Thabari dalam kitabnya, Tafsir at-Thabari juz 4, hlm. 362.
Jika misal pasutri tersebut dikaruniai anak, lantas bagaimanakah status sang anak?
Bagaimana dengan status agama sang anak? Pertanyaan itu mungkin akan terlintas di benak kita lantaran ia terlahir dari orang tua yang berbeda agama. Apakah ikut pada agama sang ayah, ataukah sang ibu atau bahkan tidak memiliki agama? Dalam hal ini, Sahabat Abu Hurairah, al-Baihaqi dan ath-Thabarani meriwayatkan hadis yang menyatakan bahwa seluruh anak yang dilahirkan ke muka bumi adalah beragama Islam, sebagaimana tertera dalam kitab Faidhul-Qadir. Juz 13/ hlm. 131.
كُلُّ إِنْسَانٍ تَلِدُهُ أُمُّهُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi (HR. Muslim)
Sebenarnya, di dalam al-Quran, setiap anak Adam sudah melakukan perjanjian, sehingga setiap bayi manusia yang lahir dihukumi Islam, bahkan meskipun kedua orang tuanya beragama selain Islam. Lantas kapan sebenarnya perjanjian itu ada? Perjanjian itu dimulai saat Adam as diciptakan oleh Allah. Hal ini sepertimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. yang tertulis dalam kitab Tuhfatul-Ahwadzi. 8/457
Saat menciptakan Adam, Allah mengusap punggungnya. Maka berjatuhanlah dari punggungnya setiap jiwa keturunan yang akan diciptakan Allah dari Adam hingga hari Kiamat. Kemudian, di antara kedua mata setiap manusia dari keturunannya Allah menjadikan cahaya yang bersinar. Selanjutnya, mereka disodorkan kepadanya. Adam pun bertanya, “Wahai Tuhan, siapakah mereka?” Allah menjawab, “Mereka adalah keturunanmu” (HR. Al-Tirmidzi)
Baca Juga: Menyikapi Mitos; Etiket dalam Sabab-Musabab Mitos
Sebab itulah, dijelaskan dalam Tafsir ath-Thabari 13/222, saat anak manusia masih berada di dalam kandungan, mereka semua melakukan perjanjian kepada Allah. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan),” (QS. Al-A’raf [7] : 172). Sehingga menurut Abu Muhammad Sahl (818-896M) (203-283H) dalam kitab Tafsir al-Tasturi, 13/222, tidak akan datang kiamat sebelum semua keturunan yang telah diambil sumpah, kesaksian, dan janjinya itu terlahir ke dunia.
Dari penjelasan inilah, status agama orang tua sama sekali tidak berpengaruh pada status agama sang anak yakni status anak itu adalah Islam, kecuali jika setelah Mukalaf nanti anak tersebut memilih agama selain Islam.
Khoiron Abdullah | Annajahsidogiri.id