Merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap umat beragama untuk meyakini keberadaan tuhan mereka. Keyakinan ini dapat dicapai apabila seorang hamba mengenal tuhannya. Dalam islam, makrifat(mengenal tuhan) merupakan sebuah kewajiban yang mendasar. Dalam prakteknya, ditemukan dua cara untuk makrifat sebagaimana yang dapat kita jumpai dalam literatur-literatur klasik yang fokus membahas akidah. Dua cara tersebut yaitu nazhar dan taklid. Pembahasan tentang nazhar dapat dibaca kembali dalam tulisan sebelumnya. Untuk kali ini penulis mencoba menguraikan cara kedua yaitu taklid dan garis besarnya dalam akidah.
Definisi Taklid
Dalam gramatika arab, kata taklid merupakan bentuk masdar dari fi’il قلّد-يقلّد yang artinya mengalungkan atau menggantungkan. Secara terminologi, syaikh Ibrahim al-Baijuri mengatakan; ” taklid adalah mengimani keyakinan yang terkandung dalam ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalil kebenarannya”.[1] Sedangkan taklid menurut as-Sanusi adalah kemantapan hati yang sesuai dengan aqâid iman meskipun tanpa mengetahui dalil kebenarannya. Ulama menyebut orang yang bertaklid sebagai “muqallid” yang merupakan bentuk isim fa’il(pelaku) dari fi’il di atas.
Kebalikan dari muqallid adalah ârif, yakni orang yang mengimani suatu keyakinan beserta mengetahui dalil-dalilnya. As-Sanusi menggambarkan dengan jelas perbedaan antara keduanya seperti sekelompok orang yang sedang melihat hilal. Beberapa dari mereka melihatnya terlebih dahulu, kemudian mengabarkannya kepada yang lain. Golongan yang mendapat kabar tersebut apabila menerima dan meyakininya tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut maka mereka disebut muqallid. Namun jika mereka masih meminta petunjuk lebih lanjut sampai mampu melihat hilal dengan mata kepala mereka sendiri, maka tidak lagi disebut sebagai muqallid, melainkan tergolong sebagai ârif.[2]
Pandangan Ulama Tentang Taklid
Keimanan seorang muqallid masih diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian mengatakan bahwa beriman tidak cukup hanya dengan taklid semata, sebagian yang lain menyebutkan sebaliknya. Lebih jelasnya, perbedaan ini dapat dikelompokkan menjadi enam pendapat:
Pertama, taklid tidak dianggap cukup dalam keimanan seseorang, sehingga menyebabkan sang mukallid dianggap kafir. Pendapat ini disetujui oleh As-Sanusi dalam kitabnya Al-Kubra.
Kedua, taklid dianggap cukup namun muqallid terhitung bermaksiat sebab meninggalkan nazhar, baik dia mampu melakukannya atau tidak.
baca juga: Kerancuan Kebatinan
Ketiga, cukup dengan taklid dan dianggap bermaksiat jika ia memiliki kemampuan nazhar tapi tidak melakukannya.
Keempat, orang yang bertaklid pada Al-Qur’an dan Sunnah yang qath’i. Maka keimanannya dianggap shahîh sebab keduanya sudah pasti kebenarannya. Sedangkan jika seseorang bertaklid pada selain dua tersebut maka keimanannya dianggap tidak shahîh, sebab tidak terbebas dari kekhawatiran jatuh dalam i’tiqâd(keyakinan) yang keliru.
Kelima, taklid dianggap cukup dan mukallid tidak terhitung bermaksiat secara mutlak. Pendapat ini melihat dari sudut pandang bahwa nazhar hanyalah syartul kamal (penyempurna). Seseorang yang memiliki kemampuan nazhar namun tidak melaksanakannya, hanya dianggap meninggalkan hal yang utama.
Keenam, imannya seorang mukallid dianggap sahih dan nazhar haram baginya. Hal ini terjadi apabila dalil yang ada bercampur dengan filsafat-filsafat yang keluar dari prinsip tauhid dalam islam.[3]
Al-Imam Baijuri dalam Tuhfatul murîd menuturkan bahwa di antara semua pendapat ulama di atas, pendapat ketigalah yang diunggulkan. Kemudian beliau menjelaskan pula bahwa titik khilafiyah(perbedaan) ini hanya terletak pada nazhar sebagai perantara untuk makrifah kepada Allahﷻ. Khilafiyah ini juga hanya terjadi pada taklid yang jazim (kokoh), yakni si muqallid tetap dalam keyakinannya meskipun seandainya pihak yang menjadi muqallad (yang diikuti keyakinanya) mencabut keyakinannya. Namun, jika si mukallid masih ragu atau keyakinannya hanya berdasar pada dzon (praduga) saja, maka ulama sepakat atas ketidak absahan iman si mukallid.
Dari semua penjalasan di muka, dapat kita simpulkan bahwa dalam aspek i’tiqad atau keyakinan, dibutuhkanlah nazhar agar terbebas dari label taklid. Sebagai tambahan, ada sedikit kisah menarik tentang imam Al-Ashma’i yang pernah bertanya pada seorang arab badui, beliau bertanya pada si badui “Dengan apa engkau mengetahui tuhanmu? Si badui menjawab “kotoran unta menunjukkan adanya unta. Jejak kaki menunjukkan adanya orang yang berjalan. Demikian pula langit dan bumi beserta segala isinya menunjukkan adanya sang pencipta.”[4]
Berpikir dengan logika sederhana semacam ini dapat membebaskan seseorang dari label mukallid, sehingga hal ini menjadi kewajiban semua orang mukallaf tanpa terkecuali.
Moch. Muzakki Zen | AnnajahSidogiri.Id
[1] Al-Baijuri, Tuhfatul Murîd, hlm. 48 cet. Darul kutub islamiyah.
[2] Al-Baijuri, Tuhfatul Murîd, hlm. 48-49.
[3] Al-Baijuri, Tuhfatul Murîd, hlm. 48-49.
[4] Sidogiri media, edisi 177, jumadats tsaniyah 1443 H.