Pandangan Ahlusunah
Hadis adalah pondasi syariat Islam kedua setelah al-Quran. Kekuatan hujahnya tidak bisa terbantahkan. Hadis juga berperan sebagai penjelas dan penafsir terhadap ayat-ayat al-Quran. Oleh karenanya, selain wajib mengikuti dan mengamalkan al-Quran, umat Islam juga memiliki kewajiban mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran hadis. Perintah ini telah termaktub di dalam ayat al-Quran berikut:
وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوْا ۚفَاِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَا عَلٰى رَسُوْلِنَا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ.
“Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul serta berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat) dengan jelas.” (QS. Al-Mâidah [5]: 95).
Selanjutnya, para shahabat memiliki peran penting dalam meriwayatkan hadis. Para shahabat yang menimba langsung hadis-hadis dari sumbernya, melakukan transmisi hadis-hadis tersebut kepada generasi selanjutnya. Hal ini terus berlangsung sampai pada kita. Oleh karena itu, para shahabat merupakan tonggak dari ajaran Islam.
Nah, lantaran berstatus sebagai pembawa ajaran Islam yang diterima dari Nabi itulah, para shahabat menempati posisi yang sangat tinggi dalam Islam. Melalui dalil-dalil al-Quran dan hadis, para ulama sepakat bahwa semua shahabat memenuhi syarat ‘adl.
Pandangan Syiah
Ajaran Syiah memiliki paham atau akidah yang berbeda dengan Ahlusunah. Bahkan, ajaran mereka menyalahi dan bertentangan dengan al-Quran dan hadis. Akidah Syiah tersebut semuanya bersumber kepada hadis-hadis yang tertera dalam kitab-kitab Syiah.
Baca juga : Garis besar Taklid diranah akidah
Hadis-hadis yang dijadikan rujukan utama mereka berasal dari empat kitab induk, yakni al-Kâfî karya Muhammad Ya’qub al-Kulayni (w. 329 H), Man lâ Yahdhuruhul-Faqîh karya Muhammad bin Babawaih al-Qummi (w. 381), Kitâb at-Tahdzîb dan Kitâb al-Istibshâr karya Muhammad ath-Thusi (w. 460 H).
Namun, di antara empat kitab tersebut yang paling utama adalah kitab al-Kâfî karya Muhammad Ya’qub al-Kulayni. Sebab, di kalangan Syiah kitab ini dianggap paling otoritatif dalam bidang hadis, jika dibandingkan dengan lainnya. Selain itu, kitab ini adalah kitab yang lebih banyak memuat tentang akidah-akidah Syiah daripada kitab-kitab yang lain.
Hadis-hadis Syiah juga sangat berbeda dengan Sunni. Hal tersebut karena Syiah memiliki pemahaman yang berbeda dengan Sunni dalam memaknai sunah (hadis). Definisi sunah versi Syiah adalah setiap sesuatu yang muncul dari orang yang maksum, baik berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuan (Al-Ushul al-‘ammah li al-Fiqh al-Muqorin hlm. 177). Sementara, menurut mereka, orang yang maksum adalah Rasulullah ﷺ dan para imam dua belas. Jadi, perkataan-perkataan yang disandarkan kepada para imam dua belas juga mereka anggap sebagai sunah. Maka dari itu, Syiah tidak membedakan antara imam dua belas dengan Rasulullah ﷺ.
Dengan demikian, kita dapat mengetahui perbedaan makna sunah (hadis) antara Ahlussunah dan Syiah di atas. Tentunya, makna hadis versi Ahlussunah wal Jamaah adalah definisi yang benar dalam hadis, sehingga tidak menimbulkan buah pemikiran yang menyesatkan. Sedangkan makna hadis versi Syiah jelas keliru, karena mereka menganggap bahwa ucapan dari imam dua belas mereka jauh lebih baik daripada perkataan para shahabat Nabi. Wallâhu a‘lam bish-shawwâb.
Hasani Dahlan | Annajahsidogiri.id