Dewasa ini, perilaku mengaku sebagai seorang Nabi sudah tidak lagi muncul ke muka publik. Namun, problematika umat lebih mengerucut pada pengakuan nasab atau menyatakan diri masih mempunyai hubungan darah dengan orang lain. Dalam tulisan kali ini kami akan mengupas pemalsuan nasab yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Bagaimana Islam menyikapi perilaku demikian. Simak kajian berikut?
Pertalian keluarga atau nasab memiliki kedudukan yang penting sehingga seseorang dapat mengidentifikasi silsilah dan hubungan keluarganya. Nasab yang jelas dapat membantu memudahkan berbagai persoalan seperti pembagian warisan, wali nikah, atau persoalan lainnya.
Akan tetapi, dalam Islam ada larangan bagi seseorang untuk mengaku-ngaku memiliki nasab kepada orang lain, yang mana dirinya pun ragu terhadap klaimnya yang tidak memiliki kekuatan. Semisal, ada seseorang mengaku memiliki garis keturunan kepada Nabi Muhammad ﷺ, tetapi ternyata klaimnya itu palsu. Atau mengaku orang tuanya adalah si A, padahal sejatinya orang tuanya adalah si B.
Nasab gadungan ini tujuannya beraneka ragam, tergantung orang yang mengaku-mengakut, di mana tujuan yang paling dominan adalah mengangkat martabat dengan menisbatkannya pada orang yang memiliki drajat tinggi di mata orang lain. Sehingga, tak ayal jika kadang-kadang ada orang-orang mengatasnamakan diri sebagai keturunan Baginda Nabi guna memperoleh kehormatan. Nabi sendiri menyatakan pelaku nasab abal-abal tersebut dengan redaksi yang berbeda. Hadis pertama:
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ أَوْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالِيْهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَاْلمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Barang Siapa mengaku bernasab pada selain orang tuanya atau menisbatkan kemerdekaan pada orang yang tidak memerdekakannya maka dia wajib mendapat laknat Allah, Malaikat, dan semua orang.” (HR. Muslim).
Baca Juga:Ketika Nasab Habaib Menjadi pertanyaaan
Hadis kedua:
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِأَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ فَاْلجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barang siapa mengaku bernasab kepada selain ayahnya sedangkan dia mengetahui (tidak ada hubungan) maka surga haram kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Syekh Muhammad Amin al-Harrari maksud dari ‘Surga haram kepadanya’ adalah memiliki kemungkinan berikut; Pertama, orang tersebut tidak diperkenankan memasuki surga selamanya jika meyakini pemalsuan nasabnya adalah halal. Kedua, ia boleh masuk surga tetapi tidak berbarengan dengan orang-orang yang beruntung, gegara nasab gadungannya dan mendapat balasan setimpal jika sampai tidak memperoleh ampunan dari Allah. (Syarhus Sunan Ibni Majah Lil-Harrari 15/241).
Pada intinya, dengan dalil-dalil yang menunjukkan ketidakbolehan memalsukan nasab tadi, maka kita sudah dapat menyimpulkan bahwa mereka yang mendaku memiliki jalur nasab kepada Nabi, yang dalam kenyataannya tidak bernasab kepada Nabi, adalah orang-orang yang sesat, di mana mereka akan disiksa di neraka kelak karena melakukan pemalsuan atau kebohongan. Wallahu a’lam bisshawab
Aris Daniyal | Annajahsidogiri.id