Tempat-tempat tertentu bagi sebagian orang dianggap menjadi tempat angker. Orang-orang Madura mengenalnya dengan sebutan “Berit”. Tempat seperti ini biasanya sebisa mungkin dijauhi, karena tempat tersebut dianggap menjadi hunian makhluk gaib dan bisa menyebabkan sakit atau insiden tertentu yang membahayakan, seperti tertabrak atau jatuh dari ketinggian.
Baca Juga: Mitos Nasi Orang Mati
Salah satu cara untuk menangkal hal buruk, baik sebelum atau setelah kejadian buruk itu menimpa, biasanya orang-orang akan menyediakan hidangan makanan (atau benda lain) yang sudah ditentukan sebelumnya oleh orang pintar (orang yang dianggap mengerti). Makanan ini diletakkan persis di tempat yang diduga kuat menjadi hunian makhluk gaib.
Halal dengan Beberapa Catatan
Praktik yang telah kami sebutkan dan sudah menjadi kebiasaan di beberapa tempat di Indonesia ini hukumnya tidak haram, alias tidak apa-apa dilakukan. Namun, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan agar praktik ini tidak menjerumuskan pelakunya ke dalam hukum haram. Terlebih, agar tidak sampai terjerumus dalam kesyirikan.
Baca Juga: Buletin Tauiyah 231
Pertama, meyakini bahwa yang menyembuhkan dan yang menyelamatkan adalah Allah I semata. Adapun hubungan antara efek positif, seperti sembuh dan selamat dengan penyajian hidangan di tempat angker, merupakan hubugan kebiasaan, bukan hal pasti. Sebagaimana obat dapat menyembuhkan, air dapat melegakan dahaga, dan makanan dapat mengeyangkan. Dalam akidah kita, itu semua hanya kebiasaan, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Baijûri, dalam Tuhfatul-Murîd, hlm. 66.
Kedua, hidangan disediakan dengan maksud dan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, untuk menolak keburukan yang berasal dari jin. Jika hidangan itu malah ditujukan murni hanya kepada jin yang dianggap menjadi penguhuni tempat-tempat angker, maka hukum penyediaan itu haram.
Imam Zainudin al-Malibari dalam kitabnya, Fathul-Mu’în hlm. 308 menjelaskan:
مَنْ ذَبَحَ تَقَرُّباً للهِ تَعَالَى لِدَفْعِ شَرِّ الْجِنِّ عَنْهُ لَمْ يَحْرُمْ أَوْ بِقَصْدِهِمْ حَرُمَ
“Seseorang yang menyambelih hewan karena ingin mendekatkan diri kepada Allah I, untuk menolak kejelekan jin, maka hukumnya tidak haram. Namun, jika sambelihan itu ditujukan murni kepada jin, tanpa ada niat mendekatkan diri kepada Allah, maka hukumnya haram.”
Ketiga, tidak ada unsur idhâ’atul-mâl, atau menyia-nyikan harta-harta. KH. Thoifur Ali Wafa, setelah menjelaskan fenomena peletakan hidangan di tempat-tempat yang diyakini menjadi hunian jin, dalam salah satu kitabnya, Bulghatut-Thulâb hal. 90, menyebutkan:
وَأَمَّا مُجَرَّدُ التَّصَدُّقِ بِنِيَّةِ التَّقَرُّبِ إِلَى اللهِ لِيَدْفَعَ شَرَّ ذَلِكَ الْجِنِّ فَجَائِزٌ مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ إِضَاعَةُ مَالٍ
“Jika (hidangan itu) dimaksudkan untuk bersedakah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah I agar menjadi penolak keburukan jin, maka hukumnya boleh, selama tidak ada unsur penyia-nyiaan harta.”
Salah Satu bentuk penyia-nyiaan harta adalah membiarkan makanan di tempat itu tanpa ada yang memakannya. Maka seharusnya, makanan itu disedakahkan kepada orang lain. Selain agar makanan itu tidak menjadi sia-sia, salah satu faedah sedakah adalah menolak bala (malapetaka). Imam al-Baihaqî meriwayatkan hadis dari sahabat Anas bin Mâlik (no. 2831):
بَاكِرُوا بِالصَّدَقَةِ فَإِنَّ الْبَلاَءَ لاَ يَتَخَطَّى الصَّدَقَةَ
“Segeralah bersedakah, karena bala tidak akan bisa melangkahinya.”
Badruttamam | Annajahsidogiri.id