Berbeda dengan Salafi Wahabi yang enggan dengan amaliah tabaruk (ngalap berkah), Ahlusunah wal Jamaah adalah golongan yang paling bersemangat dalam melestarikan amaliah yang satu ini. Kelengkapan data dari berbagai kitab membuat golongan Ahlusunah wal Jamaah ini kian antusias dalam bertabaruk. Dalam kitab al-Inshâf fî Mâ Utsira Haulahu al-Khilâf, ulama bersepakat bahwa tabaruk adalah amaliah yang disyariatkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan diamalkan oleh para shahabat, tabiin, dan para salaf salih.
Dari keterangan ini, banyak kemudian umat Islam Ahlusunah wal Jamaah yang berbondong-bondong bertabaruk pada segala hal yang mengandung keberkahan. Tak luput pula mereka bertabaruk kepada para ulama. Perihal hukumnya, menurut Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahîh-nya adalah boleh-boleh saja mengingat para ulama adalah para pewaris Nabi. Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim menambahkan bahwa umat Islam tidak hanya dianjurkan bertabaruk kepada para ulama saja, tetapi juga dianjurkan bertabaruk pada hal-hal yang bertalian dengan para ulama, seperti bertabaruk pada tempat shalatnya, jubahnya, serbannya, dan lain-lain.
Omong-omong soal bertabaruk kepada para ulama ini, di kampung-kampung banyak kita jumpai umat Islam yang selalu istikamah sowan atau nyabis kepada para kiai. Mereka yang datang ke dalem (kediaman) para kiai tersebut memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Untuk yang paham agama, niat dan fokus mereka perihal tabaruknya mungkin sudah jelas, bahwa mereka tetap memohon keberkahan hanya kepada Allah ﷻ. Para kiai yang mereka kunjungi hanya dijadikan sebagai objek tawasul (perantara) agar lekas mendapatkan berkah dari Allah ﷻ. Adapun bagi yang awam, mereka banyak yang belum mengerti soal hakikat bertabaruk kepada para kiai. Sebagian ada yang sampai kelewat batas hingga mendewa-dewakan kiai. Sebagian lain ada yang berkeyakinan bahwa para kiailah yang sanggup mendatangkan manfaat dan meniadakan mudarat.
Menyikapi hal ini, menurut Abuya Sayid Muhammad al-Maliki, agar bertabaruk kepada ulama tetap berhukum boleh, setidaknya ada beberapa syarat dan batasan khusus yang harus diikuti.
Pertama, tidak boleh memiliki keyakinan bahwa ulama tersebut bisa mendatangkan manfaat dan menghilangkan mudarat. Kedua, jika bertabaruk pada hal-hal yang berkaitan dengan ulama maka objek yang ditabaruki tersebut bukan tergolong barang yang dinilai najis oleh syariat, seperti darah dan air kencing. Ketiga, tidak ghuluw atau berlebihan hinggamengultuskan ulama yang ditabaruki. Keempat, harus yakin bahwa semua keberkahan yang bakal didapat sejatinya berasal dari Allah ﷻ.
Nah, apabila semua syarat dan batasan ini diikuti secara sempurna maka para ulama yang dikunjungi tersebut boleh menjumpai orang-orang yang ingin bertabaruk kepadanya. Imam Ibnu Baththal al-Maliki dalam Syarh Bukhârî menambahkan bahwa kebolehan ulama menjumpai tamunya yang hendak bertabaruk tersebut adalah apabila dirasa aman dari sebuah fitnah, seperti ujub dan yang lain. Wallahu ‘A’lam.
M. Khoiron Abdullah | Annajahsidogiri.id