Ada dokumen menarik tentang sebuah tulisan pada majalah ‘Berita Nahdlotuel Oelama’ edisi 28 Syawal 1356 H/ 1 Januari 1938. Tulisan itu berjudul “Aliran Anti Arab”. Majalah itu dipimpin oleh Ch. M. Machfoedz Shiddiq, sedangkan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wabhab Hasbullah dan KH. Bisri sebagai redakturnya.
Saya bayangkan, saat itu -bahkan sebelum kemerdekaan RI- isu anti Arab sangat berbahaya. Sampai-sampai majalah NU pun mengangkat isu tersebut untuk disajikan kepada umat melalui majalahnya.
Baca Juga: Arti Kata Habib Sebenarnya
Saat ini, ada sebagian sikap kelompok yang mirip dengan situasi yang terjadi pada masa majalah itu terbit. Namun, tentu dengan bungkus yang berbeda. Saat ini, kelompok anti Arab itu membungkus dirinya serapi mungkin. Terkesan sangat indah. Benar-benar menggiurkan. Sehingga tidak tampak jelas bahwa mereka Anti Arab.
Dulu, kita tidak menemukan ulama Nusantara yang anti budaya Arab. Bahkan foto-foto ulama Nusantara tempo dulu banyak yang menggunakan jubah dan serban. Pun juga, kata-kata berbahasa Arab banyak yang menjadi sebuah nama untuk gerakan-gerakan Islam. Kita pernah mendengar Hizbullah. Pasukan semacam tentara yang beranggotakan kaum santri. Ada juga Nahdlotul Ulama (kebangkitan ulama), Anshor, Rijal Anshor dan Fatayat. Semua ini berbahasa Arab. Bahkan ulama-ulama yang bermukim di Nusantara banyak yang menulis buku dengan bahasa Arab. Ini mengindikasikan bahwa sebenarnya Arab itu dianggap icon Islam.
Saat itu, muslim berbaju batik tidak pernah bersitegang dengan muslim pemakai jubah. Sebuah ketentraman. Silahkan berbaju batik, memakai jubah, memakai blangkon, memakai serban. Tidak saling curiga. Juga tidak saling mencela.
Tiba-tiba muncul sebuah golongan ekstrim kanan. Pemakai jubah dicela. Anti Arab. Dan ketegangan sosial pun muncul. Yang berjubah dan bercadar diduga radikal. Akhirnya saling tegang.
Anehnya, mereka yang menciptakan keributan dan mereka justru yang berteriak paling toleran. Jurus “permalingan” pun dikeluarkan: untuk kamuflase, si maling berteriak maling.
Tentu dalih mereka menyerang Wahhabi. Wahhabi yang mereka basmi tapi Arab yang mereka caci. Kata orang kuno, “Untuk membunuh tikus tak harus membakar lumbung”. Wahhabi itu akidah. Serang akidahnya. Wahhabi itu bukan urusan jubah serban. Maka menyerang jubah dan surban jelas salah sasaran.
Baca Juga: Hati-hati Benci Arab! (1)
Alasan lain. Kata mereka, “Arab itu pemarah. Tidak ramah.’ Kalau begitu, jangan tiru marahnya. Tapi, kenapa yang diserang malah surban dan jubahnya?
Tentu “Islam Ramah bukan Islam Marah” itu hanya slogan saja. Ini sudah biasa. Aliran sesat memang selalu menyuguhkan slogan yang menggiurkan. ” Hukum hanya Milik Allah” kata Khawarij. “Cinta Ahlul Bait” slogan Syiah. “Kembali pada al-Qur’an dan Sunnah” milik Wahhabi. “Tegakkan Syariat Islam” ala HTI. Dan, Liberal pun mengusung semboyan yang nyaman didengar: “Islam Ramah dan Toleran”.
Kembali kepada majalah kuno NU. Mari kita analisa mengapa saat itu NU begitu tegas ‘menghajar’ kaum anti Arab? Jawabanya bisa ditemukan dalam kutipan majalah tersebut. Berikut redaksinya, “Apabila aliran ini sudah mencengkram benar-benar dan sudah mendarah daging maka sebagai akibat yang automatisch tumbuhlah kebencian pada apa-apa yang bersifat Arabism. Terhitung juga Igama (Agama, red) yang semula datang dari Arab: Igama Islam.
Sekarang, kita akhiri tulisan ini dengan sebuah Hadis yang disajikan sebagai pembukan dalam tulisan di majalah ‘Berita Nahdlotuel Oelama’:
يَا سَلْمَانُ لَا تَبْغَضْنِي فَتُفَارِقْ دِيْنَكَ . قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ أَبْغَضُكَ وَبِكَ هَدَانِي اللهُ ؟ قال : تَبْغَضُ العَرَبَ فَتَبْغَضُنِي
Rasulullah bersabda, “Wahai Salman, jangan membenciku maka engkau akan berpisah dengan agamamu”. Saya (Salman) berkata, “Ya Rasulallah, bagaimana aku bisa membencimu padahal, sebabmu Allah memberiku hidayah.” Rasulullah menjawab, “Engkau membenci Arab, maka (berarti) engkau membenciku”.
Luthfi Abdoellah Tsani | Peneliti Annajah Center Sidogiri