Seperti biasa, setiap bulan Rajab orang-orang Wahabi selalu membuat pernyataan tentang pelarangan perayaan Isra Mikraj. Alasan yang mereka lontarkan selalu sama. Yaitu, pernahkah Nabi SAW merayakan Isra Mikraj? Jika tidak, kenapa masih dirayakan? Mereka merujuk fatwa Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam kitab at-Tahdzîr Minal-Bida’ (hlm. 16-20) yang sebenarnya sudah banyak dibantah oleh ulama-ulama Ahlussunnah.
Baca juga: Kenapa Wahabi Bukan Ahlussunnah?
Tanggapan untuk menjawab syubhat seperti yang mereka lontarkan di atas akan kita bahas dalam artikel singkat ini.
Apakah semua hal yang ditinggalkan oleh Nabi SAW haram dilakukan? Syekh Abdullah bin Muhammad bin ash-Shidiq al-Ghumari membuat risalah khusus dengan judul Husnut-Tafahhum li Mas’alatit-Tarki (Pemahaman yang bagus mengenai hal-hal yang ditinggalkan oleh Nabi SAW). Dalam risalahnya ini, beliau menjelaskan bahwa jika suatu perkara ditinggalkan oleh Nabi SAW, bukan berarti hal itu dilarang (haram dilakukan). Kenapa? Tentu karena hal yang bisa menetapkan hal itu haram adalah jika ditemukan adanya salah satu dari tiga hal; 1)bila di dalam al-Quran atau Hadis terdapat larangan (nahî), 2) terdapat lafal yang mengharamkan (Lafdzut-Tahrîm), 3) apabila pekejaan tersebut dibenci oleh Nabi SAW atau Nabi SAW memberikan ancaman jika melakukan pekerjaan tersebut (Husnut-Tafahhum li Mas’alatit-Tarki, hlm. 143). Allah SWT berfirman,
{وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا} [الحشر: 7]
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr [59]: 7).
Dalam ayat tersebut, perkara yang harus ditinggalkan (dilarang) adalah jika di situ ada larangan. Tidak ada seorang pun ulama ushûl yang berpendapat bahwa at-tarku (hal yang ditinggalkan oleh Nabi r) menjadi dalil dalam mengharamkan sesuatu (al-Inshâf fîmâ Utsîra Haulahul-Khilâf, hlm. 134). Bagaimana dengan Isra Mikraj? tidak pernah ada larangan dari Nabi SAW, berarti hal itu tidak dilarang. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda,
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang aku larang jauhilah dan apa yang aku perintahkan lakukanlah semampu kalian.” (Shahîh Muslim, I/99).
Maka tak ayal jika ulama ushûl mendefinisikan bahwa Hadis adalah perkataan, pekerjaan atau pengakuan dari Nabi SAW. (Ghâyatul-Wushûl bi Syarhi Lubbil-Ushûl, hlm. 91). Mereka tidak menyebutkan hal yang ditinggalkan oleh Nabi SAW sebagai dalil. Kenapa? Tentu karena itu bukanlah sebuah pijakan hukum.
Kesimpulannya, setiap perkara yang ditinggalkan Nabi SAW tidak lantas berhukum haram. Dalam menghukumi perayaan seperti Isra Mikraj, ulama akan meninjau apa Isra Mikraj itu sendiri? Jika kita telisik, Isra Mikraj pada dasarnya adalah adat atau tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Dalam menghukumi adat, kita harus melihat apa yang ada di dalamnya. Bertentangan dengan syariat atau tidak? Ternyata, isi dalam Isra Mikraj adalah bershalawat bersama, baca al-Quran dan diakhiri dengan ceramah agama untuk menjelaskan Isra Mikraj. Maka hukum asalnya adalah mubah (boleh dilakukan). Bahkan jika ditinjau dari isi dan tujuan yang ada di dalamnya. Berdasarkan kaidah, الْوَسَائِلُ لَهُ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ (sarana itu mengikuti hukum tujuannya), hukumnya bisa naik menjadi sunah. Wallâhu a’lam.
Penulis: Abdul Muid, Aktivis ACS Litbang