Tulisan ini sebenarnya adalah penyempurna dari dua tulisan sebelumnya, yang membahas tentang terma “Ahlussunnah” dan “al-Jamaah” pada nama “Ahlussunnah wal-Jamaah”, sebagai kelompok mayoritas yang merepresentasikan kemurnian dan keutuhan ajaran Islam. Sebenarnya, tidak masuknya Wahabi di dalam Ahlussunnah wal-Jamaah sudah bisa dipahami dari dua tulisan tersebut. Akan tetapi karena Wahabi adalah satu-satunya kelompok sempalan yang mengklaim sebagai “Ahlussunnah”, maka diperlukan pembahasan khusus untuk menjawab syubhat itu. Setidaknya, alasan kenapa Wahabi tidak bisa disebut sebagai Ahlussunnah adalah karena beberapa faktor berikut:
Pertama, sebagaimana sudah maklum, bahwa aspek paling pokok dalam agama adalah akidah. Adapun ibadah, muamalah, suluk, dan akhlak, semua itu dibangun di atas pondasi akidah. Bagaimana pun seseorang melakukan ibadah dan amaliah, apabila akidahnya belum sesuai dengan Islam, maka semua itu akan sia-sia dan tak memiliki nilai apa-apa. Nah, itulah sebabnya kenapa dalam Ahlussunnah wal-Jamaah, konsep yang paling dasar adalah akidah, yang dikenal dengan akidah Asya’irah-Maturidiyah. Memang, Ahlussunnah wal-Jamaah adalah representasi dari kesempurnaan Islam yang mencakup Akidah, Syariah, dan Akhlak. Akan tetapi dari ketiganya, akidah adalah bangunan agama yang paling pokok, sehingga ulama mengatakan, “Jika dimutlakkan nama Ahlussunnah wal-Jamaah, maka yang dimaksud adalah Asya’irah dan al-Maturidiyah”.
Sedangkan kelompok Wahabi secara akidah tidak sesuai dengan rumusan Asya’irah maupun al-Maturidiyah, bahkan mereka menganggap akidah Asyairah-Maturidiyah, yang merupakan akidah mayoritas umat Islam, sebagai akidah yang sesat. Dalam akidah, mereka menggunakan konsep Akidah Trinitas (membagi akidah tauhid menjadi tiga: tauhid uluhiyah, rububiyah, dan asma’ wash-shifat), yang dengan itu mereka mensyirikkan umat Islam Ahlussunnah wal-Jamaah yang melakukan tawasul dan tabaruk, sebagaimana telah dibahas oleh para ulama dalam kitab-kitab khusus.
Baca Juga: Catatan Kelam Sejarah Sekte Wahabi
Nah, karena akidahnya kaum Wahabi bukan akidah Ahlussunnah wal-Jamaah, maka mereka tidak bisa disebut sebagai “Ahlussunnah” hanya karena dalam amaliah senantiasa menampilkan amalan-amalan yang mereka klaim paling sesuai sunnah, seperti berjenggot, memakai gamis, memakai celana cingkrang, tidak isbal, hanya melakukan amaliah-amaliah yang terdapat di dalam hadis-hadis shahih saja, meninggalkan segala sesuatu yang tak ada tuntuntan secara harfiah di dalam hadis shahih, dan lain sebagainya.
Bagaimana pun, semua itu adalah aspek ibadah dan amaliah saja. Katakanlah semua amalaih itu memang paling sesuai dengan sunnah, akan tetapi jika akidah dari para pelakunya belum sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal-Jamaah, maka mereka tetap tidak bisa disebut sebagai Ahlussunnah. Gambarannya, misalnya orang Kristen yang rajin melakukan ibadah-ibadah dalam Islam, seperti shalat dan puasa. Akan tetapi selama akidahnya tetap Kristen, maka selamanya orang itu tidak bisa disebut Muslim.
Memang, selama ini yang dijadikan andalan oleh kaum Wahabi dalam mengklaim diri sebagai Ahlussunnah, adalah karena mereka senantiasa menampilkan amaliah-amaliah yang mereka anggap paling sesuai dengan sunnah, dan senantiasa menghindari amaliah-amaliah yang mereka anggap tidak ada tuntunannya dalam sunnah yang shahih. Dari situ mereka dengan sangat percaya diri mendaku sebagai kelompok “Ahlussunnah”. Padahal, seperti analogi orang Kristen yang rajin shalat dan puasa tadi, orang Wahabi itu tidak bisa disebut sebagai “Ahlussunnah” selagi akidahnya belum sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal-Jamaah. Karena itu sangat penting bagi masyarakat untuk memahami hal ini, agar tidak mudah tertipu dengan penampilan Wahabi yang tampak sangat menjaga terhadap sunnah itu.
Kedua, alasan kanapa Wahabi tidak bisa disebut Ahlussunnah, karena pada hakikatnya mereka adalah perusak sunnah. Jadi bukan pemelihara sunnah sebagaimana mereka klaim selama ini. Perusakan terhadap sunnah yang dilakukan oleh Wahabi mengcakup metodologi keilmuan dan pengamalannya sekaligus. Mereka menganggap hadis dha’if tidak boleh digunakan sama sekali, lalu hadis dha’if mereka buang dan mereka sejajarkan dengan hadis palsu. Padahal ulama ahli hadis sejak zaman yang paling awal tidak ada yang melakukan tindakan pelecehan terhadap hadis seperti itu. Mereka semua menghormati hadis dha’if sebagai hadis Nabi, dan mereka berlomba-lomba mengamalkannya.
Dari sini tampak jelas jika Wahabi sebenarnya telah merusak metologi keilmuan hadis, dan dari sini rusak pula pengamalan terhdap hadis itu. Jadi bagaimana bisa kelompok yang telah merusak sunnah diberi nama “Ahlussunnah”? Bahkan, kelompok Wahabi terbukti mengabaikan petunjuk sunah ketika itu bertentangan dengan fatwa-fatwa dari panutan mereka, seperti Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul-Wahhab. Mereka menampik shalat Tarawih 20 rakaat atau adzan dua kali yang dilakukan pada zaman sahabat, misalnya, padahal tak ada yang lebih paham tentang sunnah melebihi para sahabat. Mereka menampik praktik tawasul, tabaruk, dan semacamnya, padahal petunjuknya dari sunah sangat melimpah, plus pengamalan dari para ulama salaf shalih sejak zaman sahabat, hanya karena para panutan Wahabi berfatwa sebaliknya.
Ketiga, bahwa faktanya Wahabi hanya mengklaim diri mereka sebagai “Ahlussunnah”, dan tidak berani mengklaim diri sebagai “Ahlussunnah wal-Jamaah”, karena memang Wahabi adalah kelompok minoritas yang telah keluar dari jamaah umat Islam. Itulah sebabnya mereka sangat getol melakukan pentakwilan terhadap kata “al-Jamaah” yang banyak disebutkan di dalam hadis sebagai kelompok yang selamat.
Padahal, sebagimana telah kita uraikan pada tulisan sebelumnya, di samping tidak punya masalah dengan sunnah, kelompok yang benar itu cirinya adalah senantiasa ada dalam jamaah atau kelompok besar umat Islam (as-sawadzul-a‘zham), karena kelompok ini dijamin tidak akan sesat. Malah dalam sebuah hadis ditegaskan, bahwa barangsiapa yang mengucil (dari al-jamaah), maka ia telah mengucil ke neraka.
Penulis: Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri (ACS)