Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kesetaraan. Dalam ajarannya sama sekali tidak ada hal yang memihak pada satu pihak, dalam hal ini berkaitan antara kaum laki-laki dan perempuan.
Islam memandang manusia baik laki-laki ataupun perempuan sebagai makhluk termulia yang sama-sama diciptakan dari tanah dan tercipta dari satu jiwa (Adam)[1]. Kemuliaan dalam Islam tidak dilihat dari jabatan dan jenis kelaminnya. Kemuliaan dilihat dari ketakwaannya pada Tuhan[2].
Namun sebelum membahas lebih dalam mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam perspektif Islam, mari kita teropong terlebih dahulu bagaimana keadaan perempuan sebelum islam datang.
Perempuan Sebelum Kedatangan Islam
Dalam peradaban Yunani kuno, khususnya masyarakat Athena, wanita tak mempunyai banyak peran dalam kehidupan sehari-hari. Para wanita mendapatkan batasan di segala bidang.
Menurut Nikolaos A. Vrissimtzis dalam buku Erotisme Yunani; dahulu, seorang wanita bisa saja mempunyai kedudukan yang tinggi. Namun ia harus menjadi seorang pelacur (hetairai). Bisa dikatakan, pemerintahan Athena pun, saat itu tak melarang merebaknya prostitusi[3].
Sue Blundell dalam bukunya Women in Ancient Greece menuliskan, kaum lelaki justru menganggap wanita sebagai sumber bencana dan penyakit. Wanita diposisikan sebagai makhluk yang paling rendah layaknya budak. Mereka menganggap wanita sebagai kotoran. Wanita hanya dianggap sebagai barang-barang dagangan.
Lihatlah bagaimana bangsa dulu memperlakukan wanita! Sungguh sangat kejam. Namun bagaimana keadaan wanita setelah kedatangan Islam? Mereka mendapatkan perlakuan selayaknya sebagaimana yang Anda ketahui.
Laki-Laki dan Perempuan Dalam Islam
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa sebelum Islam datang, wanita sangatlah dikucilkan. Namun Islam mengangkat martabat mereka, bahkan menyetarakannya dengan laki-laki dalam beberapa hal:
Pertama: Sebagaimana di muka, bahwa kemuliaan dalam Islam dinilai dari ketakwaan seseorang kepada Tuhan.
Kedua: Islam tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan. Islam tidak melarang perempuan untuk belajar berbagai macam ilmu bermanfaat yang ia kehendaki. Sebab menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang Islam baik laki-laki ataupun perempuan. Nabi bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ[4]
“Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
Ketiga: Dalam perihal keagamaan, Islam juga tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan. Semua pekerjaan yang diwajibkan kepada laki-laki juga diwajibkan kepada perempuan. Seorang laki-laki memiliki kewajiban untuk menutup auratnya. Perempuan juga wajib menutup auratnya, sekalipun aurat mereka berbeda. Dan perbedaan itu bukanlah untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, perbedaan tersebut semata-mata untuk menjaga harga diri masing-masing dari keduanya.
Begitupun pekerjaan yang diharamkan kepada laki-laki juga diharamkan kepada perempuan. Contohnya, apabila seorang laki-laki mencuri dan jumlah curiannya sudah mencapai batasan hukum potong tangan, maka dia harus dipotong tangannya sebagai hukuman atas apa yang telah ia lakukan, agar dia jera dari profesi pencuri dan menjadi pelajaran bagi orang lain supaya tidak berani untuk mencuri. Begitupun perempuan, ia juga wajib dipotong tangannya apabila melakukan hal yang sama.
Ayat Misoginis Dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an, ada beberapa ayat yang sepintas memunculkan pemahaman bahwa Islam mengebiri hak-hak kaum perempuan. Namun sebetulnya, jika difahami lebih mendalam, pemahaman tersebut tidak benar. Berikut salah satu ayat yang kami maksud:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ [5]
“Laki-laki itu pemimpin bagi perempuan. Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah memberikan sebagian dari hartanya.”
Ada sebagian orang berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan bukti bahwa Islam telah mengebiri hak kaum perempuan, dan Islam tidak memperlakukan kaum perempuan secara adil. Kalau Islam mengakui kesetaraan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, mengapa Islam mengkhususkan “kepemimpinan” hanya untuk kaum laki-laki sebagaimana tercantum dalam ayat tersebut?
Kemudian, bukankah lafadz “بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ” secara implisit memberikan justifikasi ekslusivitas gender tehadap kaum laki-laki?
Pertama: Jika ayat tersebut dipafahami sebagai justifikasi ekslusivitas gender tehadap kaum laki-laki atas kaum perempuan, maka itu semu, sebab bertentangan dengan banyak nash Al-Qur’an.
Allah berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ[6]
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ[7]
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
Dua ayat tersebut menginformasikan kita bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan terletak pada realitas kemanusiaan, sedangkan perbedaan atau ketidaksetaraan terletak pada tingkat ketakwaan.
Kedua: Yang dimaksud ayat tersebut adalah keutamaan sinkronitas antara kemaslahatan dengan tugas yang diembannya. Kita tahu, bahwa tiap anggota keluarga memiliki tugas dan peran sosial masing-masing.
Memimpin dan mengatur urusan keluarga, menunaikan kewajiban, dan menyelamatkan anggota keluarga dari pelbagai macam bahaya yang mengancam (termasuk di dalamya pemenuhan ekonomi agar bisa meraih kehidupan yang layak) adalah diantara tugas, peran terpenting, dan tersuci dari seorang kepala keluarga.
Perempuan pun juga memiliki kewajiban tersendiri yang berupa merawat rumahtangga, menyusui, dan mendidik anak-anak, serta menciptakan kebahagiaan keluarga.
Kesimpulan
Jadi, bisa diambil kesimpulan bahwa dasar dipilih dan ditetapkannya laki-laki sebagai pemimpin ada dua sisi. Dari sisi realitas sebagai lelaki, struktur anatomi fisik dan psikisnya menyebabkan lelaki tepat dan pantas memegang tampuk kepemimpinan. Sedangkan dari sisi lain, karena karena dia memikul beban tanggung jawab dalam memberi nafkan kepada isteri dan anak-anak. Bukan untuk menjustifikasi ekslusivitas.
Fairuz Ubbadi | Annajahsidogiri.id
[1] Qs: Al-A’raf: 189
[2] Qs: Al-Hujurat: 13
[3] DR. Achmad Satori Ismail, Membincang Feminisme; Diskursus Gender Prespektif Islam., hlm. 132
[4] HR. Ibnu Abdil Bar
[5] Qs: An-Nisa’: 34
[6] Qs: An-Nahl: 97
[7] QS: al-Hujurat: 13