Kita tahu bahwa Asmaul-Husna adalah nama-nama terbaik bagi Allah ﷻ yang berjumlah 99. Dikatakan terbaik karena nama-nama tersebut bagi Allah ﷻ merupakan sifat-sifat kesempurnaan yang wajib dimiliki-Nya. Oleh karena itu, 99 nama tersebut pada dasarnya adalah sifat-sifat bagi Allah ﷻ.
Nama-nama dan sifat-sifat Allah ﷻ sebenarnya tidak terbatas pada jumlah 99 saja. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari shahabat Abdullah bin Mas’ud, bahwa ada nama-nama Allah ﷻ yang hanya diketahui oleh seorang hamba secara tertentu, seperti Asmaul-Husna ini. Dan, ada pula nama-nama yang hanya diketahui oleh Allah ﷻ saja. Sehingga, nama-nama Allah ﷻ sebenarnya tidak terbatas pada 99 nama. Pun demikian, kita juga harus meyakini bahwa nama-nama tersebut bersifat qadim (tidak berawal).
Dalam kitab Tuhfatul Murȋd ‘ala Jauharatit-Tauhȋd (hlm 60), al-Imam Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri menjelaskan bahwa semua nama-nama dan sifat-sifat Allah ﷻ itu bersifat qadim (tidak bermula), bukan buatan makhluk dan juga tidak bersifat hadits (baru). Karena seandainya berupa perkara baru, niscaya ada dua perkara baru menetapi Dzat Allah ﷻ, yang berarti Allah ﷻ meminjam sifat tersebut sejak di zaman azali, dan sudah pasti butuh pada zat yang menciptakan (pencipta). Semua itu mustahil bagi Allah ﷻ. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah ﷻ dalam al-Quran Surah an-Nisa ayat 148, al-Fath ayat 4, al-Furqan ayat 54, dan lain-lain.
Namun, seiring berjalannya waktu, hal tersebut (nama-nama Allah ﷻ yang bersifat qadim) telah dipertanyakan, bahkan hingga diperdebatkan oleh beberapa golongan selain Ahlussunah wal Jamaah. Di antaranya adalah golongan Muktazilah. Mereka mengatakan bahwa nama-nama tersebut bersifat hadits (baru). Lantas bagaimana bisa nama-nama tersebut bersifat qadim, padahal nama-nama itu berupa lafaz, sedangkan semua lafaz itu sudah pasti bersifat hadits?
Dalam menjawab pernyataan tersebut, al-Imam al-Malawi mengutip pendapat gurunya, al-Imam Muhammad bin Abdullah al-‘Arabi, menjelaskan bahwa di antara kalamullah al-qadim (al-Quran) adalah nama-nama yang baik bagi Allah ﷻ (Asmaul-Husna) dan sudah pasti bersifat qadim, sebagaimana sebuah kalimat perintah dan larangan yang terdapat dalam kalamullah itu sendiri, yang kemudian diturunkan dengan menggunakan lafaz berbahasa Arab, karena Nabi ﷺ terlahir dari bangsa Arab (Tuhfatul-Murȋd ‘ala Jauharatit-Tauhȋd hlm 59, dan Minhatul Hamid fî Syarhi Jauharatit-Tauhid hlm. 51).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan Asmaul-Husna itu tertuju kepada makna yang tersirat atau tersimpan di dalam nama-nama tersebut, bukan dari lafaznya yang baru. Wallâhu a’lam bish-Shawwab.
Syauqi Ramadhan | Annajahsidogiri.id