Sudah menjadi ijma’ bahwa Nabi Muhammad SAW adalah tokoh sentral umat Muslim seluruh dunia. Maka miris, jika ada seorang Muslim menyematkan hal-hal yang dianggap dapat mengurangi martabat Nabi-nya sendiri. Jadi, Ketika Nabi Dicaci. Allah SWT melaknat orang-orang yang menyakiti Rasulullah SAW. Sebagaimana dalam QS. at-Taubah: 61, dijelaskan:
وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَيَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, ‘Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya’. Katakanlah, ‘Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu”. Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih.” (QS. at-Taubah: 61).
Dalam membahas ayat-ayat yang berkenaan dengan penghinaan Rasulullah SAW, Imam Ibnu Katsir hanya menyematkan dua orang. Yaitu dari luar Islam (orang kafir) dan dalam Islam (orang munafik) (Tafsîr Ibnu Katsîr IV/170). Lantas, seperti apakah kriteria pencaci Rasulullah SAW yang termasuk salah satu dari dua golongan di atas? Dan bagaimana hukumannya?
Kriteria Para Pencaci Rasulullah
Al-Qadi Abul-Fadl ‘Iyadh al-Yahshibi dalam kitabnya asy-Syifâ bi Ta’rîfi Huqûqil-Musthafa (II/133) mendefinisikan para pencaci nabi (Sâbbun-Nabi) adalah, “Setiap orang yang mencaci nabi, menghinanya atau menyematkan ‘kekurangan’ pada diri Rasulullah, nasab, agama, tabiat dari beberapa tabiatnya yang mulia atau menyamakan Rasulullah dengan sesuatu dengan menggunakan cara mencaci, memandang hina terhadap Rasulullah, mengucilkan keadaannya, merendahkan dan mencelanya. Maka dia adalah pencaci Rasululah dan dia harus dihukum sebagaimana pencaci Rasulullah”. Jadi, setiap orang yang menyematkan sifat-sifat kekurangan pada diri Rasulullah SAW sudah dianggap para pencaci Nabi SAW. Pada beberapa halaman selanjutnya (hal.146) beliau mencontohkan seperti seseorang menyatakan, “Jika saya bisa dibohongi, maka nabi-pun bisa” atau kalau kita kongkritkan, “Jika saya waktu kecil ngompol maka waktu nabi masih kecil-pun juga bisa seperti itu”. Kata-kata seperti ini termasuk dari bagian para pencaci Rasulullah SAW. Meskipun si pengucap tidak bermaksud seperti itu, ia juga akan dicap sebagai orang yang telah merendahkan martabat Nabi SAW. Dan dia sama seperti orang yang mencaci Nabi SAW.
Baca Juga: Sang Baginda SAW Nabiku Tercinta
Sementara itu, di lain kesempatan banyak orang beralasan bahwa Nabi SAW memiliki tabiat manusiawi (al-A’râd al-Basyariyah). Sehingga, ia menyimpulkan bahwa bisa saja Nabi SAW mengalami hal-hal yang itu dianggap manusiawi. Benarkah pernyataan ini? Mari kita bahas!
Dalam kitab Tuhfatul-Murîd ‘alâ Syarhi Jauharahtit-Tauhîd (hal.159) Syaikhul-Islam Ibrâhim al-Baijuri menjelaskan mengenai batasan-batasan tabiat manusiawi (al-A’râd al-Basyariyah) yang boleh ada pada diri para nabi. Atau dalam hal ini termasuk sifat jaiz bagi para nabi. Contoh-contoh yang beliau paparkan adalah makan, jimak pada waktu halal dan tabiat-tabiat manusiawi lain yang tidak dapat mengurangi martabat kenabian yang tinggi. Beliau mencotohkan hal-hal yang dapat mengurangi martabat para nabi itu dengan al-Umûr al-Munaffirah (hal-hal yang jika itu ada pada diri seseorang, maka orang tersebut akan dianggap menjijikkan dan akan dijauhi). Jika kami simpulkan, al-Qadi ‘Iyadh dalam konteks di atas menganggap orang yang menyatakan, “Jika saya bisa dibohongi, maka nabi pun bisa” termasuk orang yang telah menyematkan pada diri Nabi SAW al-Umûr al-Munaffirah tadi.
Hukuman Bagi Pencaci Rasulullah
Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Hanya saja, Imam Ibnul-Mundzir meriwayatkan dari Sayidina Ali bin Abi Thalib RA bahwa pencaci nabi harus dimintai taubat. Dan menurut Imam asy-Syafi’i jika dia telah bertaubat maka taubatnya bisa diterima. Menurut kami, pendapat inilah yang paling cocok meninjau keadaan kita sekarang ini. Wallahua’lam.
Penulis: Abdul Muid|Aktivis ACS Anggota Litbang