Alangkah indahnya jika di hati setiap generasi bangsa ini terdapat kecintaan mendalam kepada sosok agung Baginda Nabi SAW. Alangkah indahnya jika salawat yang menggema di penjuru negeri tidak terhenti di bibir saja, tapi merasuk ke relung jiwa setiap Muslim Indonesia.
Mencintai Nabi Muhammad wajib hukumnya. Namun, sedikit pun Nabi tidak butuh pada kecintaan kita kepada beliau. Kecintaan kita tidak akan menambah kedudukannya yang mulia. Ketiadaan cinta kita padanya, tidak pula mengurangi derajat kemuliaan beliau. Karena beliau adalah insan paripurna yang paling dicinta Allah SWT. Orang yang demikianlah yang akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Rasulullah SAW pernah bersabda,
Baca Juga: Cinta dan Bahagia Dalam Maulid Nabi Muhammad
اَلْمَرْءُ مَعَ مَنْ اَحَبَّ
“Seseorang akan bersama orang yang dia cintai”. (HR. Thabrani)
Ada sebuah kisah inspiratif tentang kedalaman rasa cinta mantan budak Rasulullah SAW. Beliau bernama Tsauban bin Bujdad. Ia sangat mencintai Nabi. Suatu hari ia menemui Nabi SAW, rona wajahnya berbeda. Menyiratkan kekhawatiran dan rasa sedih yang bergemuruh. Rasulullah SAW bertanya, “Apa yang membuat raut wajahmu berbeda (dari biasa)”? Tsauban menjawab : “Aku tidak sedang sakit atau kurang enak badan. Aku hanya berpikir, jika tak melihatmu, aku sangat takut berpisah denganmu. Perasaan itu tetap ada, hingga aku melihatmu. Kemudian aku teringat akhirat. Aku takut kalau aku tak berjumpa denganmu. Karena engkau di kedudukan tinggi bersama para nabi. Dan aku, seandainya masuk surga, aku berada di tingkatan yang lebih rendah darimu. Seandainya aku tidak masuk surga, maka aku takkan melihatmu selamanya”.
Menanamkan Rasa Cinta
Kita tahu, Rasulullah adalah sosok sempurna, dalam akhlak, kepribadian, sifat, juga dzatnya. Kebesaran dan keagungan Baginda Nabi SAW terlukis dari namanya selalu disebut menyertai asma Sang Pencipta Allah SWT.
Mengapa kita perlu mencintai Baginda Nabi Muhammad SAW? Sebab mencintai Rasul menjadi syarat sah cinta kita kepada Allah SWT. Sebab dengan mencintai Rasul, kita bisa merasakan manisnya iman. Sebab dengan mencintai Rasul, kita akan bersama beliau di surga. Dan dengan mencintai Rasul iman kita bisa menjadi sempurna. Bukankah Rasul SAW pernah bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidaklah sempurna iman salah seoran dari kalian hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya serta manusia seluruhnya.” (HR. Muslim)
Etika Para Pecinta
Banyak sekali Muslim yang mengaku mencintai Sang Kekasih, Baginda Nabi Muhammad namun beberapa dari mereka haliyah-nya sama sekali tidak mencerminkan haliyah seorang pecinta. Di sini kami tulis beberapa etika yang menjadi tolak ukur benar tidaknya rasa cinta seorang pecinta kepada kekasihnya. Pertama, seorang pecinta sudah pasti akan menjunjung tinggi kekasihnya. Mendahulukan dan mengutamakan beliau atas siapa pun. Kedua, Seorang pecinta pasti berusaha mengikuti apapun yang biasa dilakukan kekasihnya (ittiba’), dan menjauhi apapun yang tidak disukai kekasihnya. Ketiga, seorang pecinta pasti senantiasa ingat dan menyebut-nyebut sang kekasih, dengan bershalawat, mengingat teladan serta nasehatnya. Keempat, seorang pencinta pasti akan memberikan hak-hak kekasih yang dicintainya, membenarkan segala ucapannya, dan membenarkan segala yang datang darinya. Kelima, seorang pecinta pasti berusaha membela kekasihnya. Hidup dan mati. Dan keenam, seorang pecinta pasti akan selalu berusaha beradab di sisinya.
Semoga dengan kecintaan yang tertanam di relung jiwa kita, kelak, di hari tak ada pertolongan kecuali syafaatnya, beliau berkenan menoleh sejenak kepada diri kita dan memberikan setetes syafaatnya untuk keselamatan kita. Amin.
Mustafid Ibnu Khozin | AnnajahSidogiri.id