Ada yang berkata kalau syariat Islam seringkali tidak adil dalam memperlakukan wanita. Wanita selalu didiskriminasi, diabaikan, dan dipandang sebelah mata. Dalam beberapa lini, wanita seringkali ditempatkan satu tangga di bawah lelaki. Semisal dalam pembagian warisan, hak talak dan lain sebagainya. Selain itu perempuan juga harus terbelenggu oleh batasan aurat, dan terikat ketat oleh aturan-aturan di dalam bergaul dan bersosial. Seperti harus disertai mahram, aurat tertutup, dan tidak boleh berduaan dengan lelaki lain (khalwat). Dengan narasi seperti ini, kemudian ada yang menyatakan Islam adalah agama yang tidak adil dalam memperlakukan perempuan.
Anehnya opini semacam ini mendapat sambutan hangat, bahkan dari kalangan umat Islam sendiri. Banyak yang mulai membenarkan opini ini dan mengatakan syariat Islam memang harus dirombak.
Untuk menjawab semua ini, mari kita lihat bagaimana sebenarnya jejak buram perempuan di luar Islam, wabilkhusus Barat, agar opini busuk ini bisa tertolak dari telinga kita.
Menyingkap Sejarah Kelam Barat
Mungkin masih ada sebagian orang yang belum tahu perlakuan Barat kepada perempuan. Hal yang mereka tahu, saat ini wanita di Barat sudah bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan. Semua hak mereka dipenuhi dan suara mereka didengarkan. Dengan melihat itu, mereka menyangka kalau Barat sangat adil dalam memperlakukan perempuan. Faktanya, Barat memperlakukan perempuan dengan sangat kejam dan brutal.
Sekitar 15 abad silam, keberadaan wanita di Barat tak ubahnya kertas yang beterbangan. Mereka bukan hanya tak dianggap dan diperlakukan tidak adil, tetapi juga disiksa dengan sadis dan dianiaya habis-habisan.
Penindasan seperti itu tidak mereka rasakan sehari dua hari. Namun, semua penyiksaan itu mereka rasakan selama lebih dari 500 tahun-an. Saat waktu itu, mereka hanyalah menjadi sasaran empuk alat-alat penyiksa yang telah disiapkan gereja.
Dr. Adian Husaini dalam bukunya, Wajah Peradaban Barat, mengatakan setidaknya 85% korban inkuisisi gereja adalah kalangan perempuan. Diperkirakan terdapat sekitar 2 sampai 4 juta wanita telah dibakar hidup-hidup tanpa adanya alasan yang benar dan jelas. Sangat mengenaskan bukan? Ya, seperti itulah faktanya.
Kala itu, wanita hanyalah dianggap sebagai manusia lemah iman yang sering melakukan kesalahan. Ada yang mengaggap bahkan wanita adalah anak setan sehingga mereka sering dicemooh dan dilecehkan. Tinta sejarah mencatat abad menyeramkan itu dengan sebutan Dark Age yang berarti zaman kegelapan.
Namun, meski pada zaman sekarang penindasan semacam itu jarang ditemukan, bukan berarti mereka dimuliakan. Sama sekali tidak! Beberapa kasus pelecehan tetap mereka rasakan. Saat ini, tubuh mereka hanya dijadikan pelampiasan berahi lelaki belang, yang hanya menikmati lalu pergi. Meski raga mereka saat ini tak lagi disiksa, tetapi jiwa mereka teraniaya dan senantiasa dihujani racun mematikan, hingga jiwa mereka benar-benar mati. Barat sudah berhasil mencekoki mereka dengan gaungan kebebasan. Otak mereka sudah tercuci sehingga mereka tak lagi berpikir tentang aturan dan etika.
Memamerkan aurat dan memakai pakaian ketat sudah menjadi kebanggaan remaja, bahkan disokong oleh pemerintah dengan anggaran dana yang sangat besar. Mereka sudah tertipu oleh keburaman duniawi, sehingga memperindah fisik lebih mereka pentingkan dibanding meningkatkan adab dan keilmuan.
Kebebasan seperti inilah yang diberikan Barat kepada perempuan. Kebebasan yang benar-benar bebas, tanpa ada sekat dan aturan yang mengikat. Tak heran, jika saat ini wanita hanya dinikmati dan dioper sesuka hati. Mereka sudah seperti hidangan di rumah makan, yang bisa dicicipi dan dinikmati oleh siapa saja. Semua itu Barat lakukan hanya dengan berdalih hak asasi dan kebebasan berekspresi.
Nasib Malang Wanita Era Jahiliah
Sejarah kelam yang dialami perempuan di luar Islam, bukan hanya ada di Barat. Namun, berbagai hal buruk berupa penindasan dan kekerasan juga dirasakan wanita Arab jahiliah. Pada saat itu kehadiran wanita hanya dianggap sebagai malapetaka dan pembawa sial.
Pada zaman jahiliah kehadiran bayi perempuan sama sekali tidak diharapkan, karena hanya dianggap sebagai pengundang petaka, pembawa sial, dan penyebab kemiskinan. Tak heran jika waktu paling mencemaskan bagi para lelaki di zaman jahiliah, adalah saat-saat istri mereka akan melahirkan.
Di saat seperti itulah mereka akan terlihat kebingungan, resah-gelisah, khawatir bayi yang dilahirkan nantinya perempuan. Jika anak yang terlahir benar perempuan maka dua pilihan berat harus dijalankan; terus merawat sang anak dengan terpaksa menanggung malu atau megubur bayi tak berdosa itu di himpitan tanah dalam keadaan menjerit pasrah.
Bagi masyarakat jahiliah wanita hanyalah makhluk lemah yang tidak berguna. Jika salah satu keluarganya terancam bahaya, wanita hanya bisa menolong mereka dengan jeritan dan luapan air mata. Wanita hanya bisa menghabiskan harta rampasan perang dan tidak bisa menghasilkannya.[1]
Al-Qur’an merekam secara detail keadaan mereka saat dikaruniai bayi perempuan. Pikiran mereka akan kacau-balau dan raut muka mereka merah padam. Mari kita renungi bersama ayatnya;
وَيَجْعَلُوْنَ لِلّٰهِ الْبَنٰتِ سُبْحٰنَه وَلَهُمْ مَّا يَشْتَهُوْنَ وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بالْأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُۥ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ يَتَوَرَى مِنَ ٱلْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِۦٓ أَيُمْسِكُهُۥ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُۥ فِى ٱلتُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Dan mereka menetapkan anak perempuan bagi Allah. Mahasuci Dia, sedang untuk mereka sendiri apa yang mereka sukai (anak laki-laki). Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.” (Q.S an-Nahl [16]: 57-59)
Ayat di atas telah mengilustrasikan dengan jelas kepada kita semua, bagaimana perlakuan para lelaki era jahiliah kepada bayi-bayi perempuan. Bayi itu tak lagi terlahir menjadi buah hati yang nantinya diasuh dengan kasih sayang. Akan tetapi, kehadiran bayi wanita itu dianggap sampah yang tanpa iba akan mereka kubur hidup-hidup ke dalam tanah.
Tidak berhenti di situ. Setelah memperlakukan anak perempuan mereka dengan perlakuan yang mengenaskan, episode berikutnya mereka akan menyalahkan dan memarahi sang istri karena telah melahirkan bayi yang mereka benci. Meski sebenarnya mereka mengerti bahwa hal itu bukan kesalahan mereka. Karena wanita hanyalah melahirkan bukan menciptakan. Namun meski diumpat dan dicaci, sampai kapan pun istri mereka tak akan pernah membalas dan melawan.
Mereka hanya bisa menangis dan meratapi keadaan, seperti yang tercontohkan di balik gubahan syair berikut:
مَا لِاَبِيْ حَمْزةَ لَا يَأتيْنَا * غضْبَانَ الاَّ نَلِدِ البنِيْنَا
تَاللهِ مَا ذَلِك فِي أَيْدِينَا * فَنَحْن كَالَارضِ لِغَارِسِيْنَا
نُعْطِيْ لَهُم مِثلَ اللًذِي أُعْطِيْنَا
“Hanya karena rahimku tidak melahirkan bayi laki-laki lalu Abi hamzah marah sampai tidak mau mendekatiku lagi.
Padahal demi Allah kami sama sekali tidak memiliki kemampuan, karena kami hanyalah sawah; apa yang kami hasilkan sesuai dengan benih yang petani taburkan.”[2]
***
Inilah sekelumit contoh perlakuan masyarakat pra-Islam terhadap perempuan. Sangat jelas bertolak belakang dengan penghormatan Islam kepada perempuan dan mengapus jejak buram yang mereka lalaui serta penindasan yang mereka alami.
Ilwa Nafis Sadad | annajahsidogiri.id
[1] Lebih detailnya Syekh Mutawalli asy-Syakrawi telah menulis satu artikel lengkap, perihal perlakuan masyarakat jahiliah kepada perempuan dalam kitabnya yang berjudul Akhlaqiyyat al-Marah al-Muslimah [hlm.34-36].
[2] Akhlaqiyyat al-Marah al-Muslimah [hlm.37].