Perayaan maulid Nabi merupakan salah satu ungkapan rasa syukur atas kelahiran manusia paling mulia, yaitu Nabi Muhammad. Adapun orang yang pertama kali merayakan kelahiran Nabi Muhammad adalah penguasa Irbil di wilayah Irak bernama Raja Muzhaffar Abu Sa’id al-Kukburi bin Zainuddin Ali bin Buktikin (549-630 H). Meski belum pernah dilaksanakan pada periode awal Islam, perayaan maulid mendapat respon yang baik dari mayoritas ulama hal ini bisa kita lihat dari beberapa karya dan komentar para ulama yang menjelaskan tentang keagungan maulid Nabi Muhammad serta mengapresiasi perayaannya.
Imam as-Suyuti termasuk salah satu ulama yang menganggap baik perayaan maulid. Beliau memiliki sebuah karya kitab dengan judul ‘’Husnul-Maqasid fi Amalil-Maulid’’. Selain karangan Imam as-Suyuti ada beberapa karya tulis ulama lain di antaranya, kitab Maulidul-Wakidi karangan al-Wakidi tentang sirah nabawiyah, al-Hafidz Syamsuddin al-Jazari juga menulis sebuah kitab dengan judul Urfut-Ta’rif bil-Maulid asy-Syarif.
Selain karya tulis tadi, ada banyak komentar ulama yang merespon baik perayaan maulid Nabi. Dalam kitab I’anatuth-Thalibin dijelaskan bahwa Makruf al-Kurkhi memberikan pujian pada orang yang merayakannya
قَالَ مَعْرُوْف الكُرْخِي قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ: مَنْ هَيَّأَ لِاَجْلِ قِرَاءَةِ مَوْلِدِ الرَّسُوْلِ طَعَامًا، وَجَمَعَ إِخْوَانًا، وَأَوْقَدَ سِرَاجًا، وَلَبِسَ جَدِيْدًا، وَتَعَطَّرَ وَتَجَمَّلَ تَعْظِيْمَا لِمَوْلِدِهِ حَشَرَهُ اللهُ تَعَالَى يَوْمَ القِيَامَةِ مَعَ الفِرْقَةِ الاُوْلَى مِنَ النَّبِيِيْنَ، وَكَانَ فِي أَعْلَى عِلِيِّيْنَ
“Al Imam Makruf al-Kurkhi berkata, barangsiapa menyajikan makanan untuk pembacaan maulidir-Rasul, mengumpulkan saudara-saudaranya, menghidupkan pelita dan memakai pakaian yang baru dan wangi-wangian dan menjadikannya untuk mengagungkan kelahirannya (Maulid Nabi), maka Allah akan membangkitkan pada hari kiamat beserta golongan yang utama dari Nabi-Nabi, dan ditempatkan pada tempat (derajat) yang tinggi”. (I’anatuth-Thalibin).
Baca Juga: Pengarang Maulid Ad-Daiba’i Syiah (?)
Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya menjelaskan;
فَتَعْظِيْمُ المَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهِ مُوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَ يَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَ تَعْظُيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ
“Mengagungkan maulid Nabi dan menjadikannya tradisi, terkadang dilakukan oleh sebagian orang. Hal itu mengandung pahala yang besar karena tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah.” (Fatawa Ibnu Taimiyah).
Imam as-Subuki merasakan ketenangan saat merayakan maulid, sebagiamana perkataan beliau:
عِنْدَمَا نَحْتَفِلُ بِذِكْرَى اْلمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ يُدْخِلُ اْلُأنُسَ قُلُوْبَنَا
“Ketika merayakan maulid Nabi, saya merasakan ketenangan dalam hati”
Imam Ibnul Qayim dalam kitabnya, Madarijus-Salikin juga menyampaikan bahwa mendengarkan dan menghadiri termasuk hal yang dapat memberikan ketenangan dalam hati, sebagaimana penjelasan beliau:
وَاْلاِسْتِمَاعُ اِلَى صَوْتٍ حَسَنٍ فِيْ اِحتِفَالَاتِ اْلمَوْلِدِ النَبَوِيِّ اَوْ اَيِّ مُنَاسَبَةٍ دِيْنِيَّةٍ اُخْرَى لَهُوَ مِمَّايُدْخِلُ الطُّمَاْنِيْنَةَ اِلَى الْقُلُوْب
‘’Mendengarkan suara yang bagus pada acara maulid Nabi ataupun acara keagamaan yang lain termasuk hal yang dapat memberikan ketenangan pada hati’’ (Madarijus-Salikin)
Jika para ulama yang keilmuannya sudah mumpuni mengamini adanya perayaan maulid Nabi, lalu apakah pantas kita masih mempertanyakan legalitas perayaan maulid Nabi.
Muhammad Nuruddin | Annajahsidogiri.id
Comments 0