Sudah lumrah dan masyhur, bahwa setelah dikumandangkan adzan sebelum berjemaah shalat wajib dilaksanakan, para jemaah shalat akan membaca lantunan pujian yang dibaca bersama-sama, baik dengan pengeras suara atau tidak. Belum ditemukan keterangan yang detail dalam sejarah Islam tanah pertiwi, perihal siapa serta dari mana asal-muasal berkembangnya kegiatan pujian setelah adzan yang dilakukan di mushalla maupun masjid. Pada akhirnya jika kita ambil kesimpulan kegiatan yang telah mentradisi semacam ini tidak akan lepas dari peran sosok wali sanga sebagai pelopor dakwah Islam di pulau Jawa. Karena, jika kita lihat di negara Mekkah dan Madinah sebagai pusat munculnya peradaban Islam, kegiatan pujian jarang kita temukan di sana. Sehingga perbedaan-perbedaaan tradisi seperti inilah yang kemudian memunculkan dua golongan yang saling menyalahkan ajaran akidah satu sama lain dan menimbulkan bidah-membidahkan antara dua belah pihak.
Baca Juga: Seruan Jihad dalam Azan, Bolehkah?
Kata “Pujian” berasal dari bahasa jawa yang artinya sanjungan serta doa dari hamba kepada Allah SWT, yang kemudian dijadikan sebagai istilah khusus oleh kaum Ahlussunnah wal jamaah yang biasanya dilakukan setelah adzan sebelum shalat berjemaah dilaksanakan, dan hal ini telah mengakar menjadi sebuah tradisi yang berlangsung hingga detik ini.
Maka, jika penulis tarik kesimpulan, pujian adalah membaca dzikir atau syair sanjungan hamba kepada Allah SWT secara bersama-sama maupun sendiri sebelum sholat bejemaah dilaksanakan. Dalam prakteknya, kaum Ahlusunah biasanya menggunakan kalimat-kalimat pujian dalam bentuk; lantunan shalawat Nabi dengan beragam bentuk nasyid, dan ungkapan kalimat dalam bentuk ajaran atau pesan moral para kekasih Allah (seperti wali sanga), walaupun berbahasa Jawa asli. Maka hukum mengamalkan pujian seperti praktek di atas adalah diperbolehkan (mubah) bahkan sunnah, sebab memuji kepada Allah merupakan suatu anjuran yang harus dilakukan kapan saja dan dinama saja, tanpa ada batasannya.
Hal ini berdasarkan pada hadis Nabi yang artinya ; Doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak (HR. Anas bin Malik). Adapun kegiatan pujian dengan suara keras dan bersama-sama, Syekh Nawawi al-Banteny berpendapat dalam kitabnya Tanqih al-Qaul, yang artinya “ Semula dipandang bahwa dzikir keras lebih bermanfaat, dalam sebuah hadits dinyatakan Rasul memerintahkan setiap orang untuk mengambil yang terbaik dan lebih bermanfaat ’’. Kegiatan pujian ini dilakukan untuk memanfaatkan waktu yang kosong di kala menunggu imam shalat datang dan pemberitahuan kepada masyarakat bahwa pelaksanaan shalat jemaah sudah dekat, mengingat waktu yang sebentar itu merupakan waktu yang istimewa, sebab disinggung oleh Nabi dalam hadisnya. Dari pada waktu itu digunakan untuk sekedar ngobrol yang tidak ada manfaatnya. Wallahu A’lam
M. Ulin Nuha | Annajahsidogiri.id
Comments 0