اَلَا لِلّٰهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۘ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ ەۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ كٰذِبٌ كَفَّارٌ
“Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar.”
(QS. Az-Zumar [39]: 3)
Dari ayat di atas Wahabi menganggap bahwa orang yang bertawasul atau bertabaruk sama seperti orang kafir Mekah yang ketika ditanya alasan mereka menyembah berhala, lalu mereka menjawab, “Demikian itu ditujukan mendekatkan diri kepada Allah saja.”
Baca Juga : Serba-Serbi Tawasul
Bila kita cermati, sebenarnya kesalahan Wahabi terletak pada penyamaan tawasul dengan praktik penyembahan orang kafir Mekah kepada berhala. Disebutkan pada ayat di atas bahwa Allah mengecam praktik tersebut sebab dianggap telah menyekutukan-Nya. Padahal, antara tawasul dan pemujaan jelas tidak sama. Menyembah dengan bertawasul adalah dua hal yang berbeda. Dengan menyembah berarti kita percaya bahwa apa yang disembah dapat memberikan manfaat atau mudarat. Sedangkan, dalam tawasul yang dilakukan Ahlusunah Waljamaah, sama sekali tidak meyakini bahwa yang dibuat tawasul itu dapat memberikan manfaat atau mudarat. Penting kiranya bagi kita untuk mengetahui kriteria-kriteria tawasul agar tidak gagal paham seperti Wahabi.
Dalam kitab “Mafahim Yajibu an-Tushahhah”, buah karya Sayyid Muhammad al-Maliki, disebutkan setidaknya ada empat kriteria yang wajib dipenuhi oleh para pelaku tawasul:
Pertama, bahwa tawasul merupakan salah satu di antara cara berdoa. Objek yang menjadi tujuan adalah Allah Swt, sedangkan “Mutawassal bih” hanyalah perantara.
Kedua, hal yang dijadikan perantara merupakan kekasih-Nya.
Ketiga, bila si pelaku tawasul beriktikad bahwa yang dijadikan perantara dapat memberikan manfaat atau mudarat, berarti ia telah kafir.
Keempat, bahwa tawasul bukanlah merupakan suatu kewajiban atau keniscayaan, dan terkabulnya suatu doa sama sekali tidak butuh pada tawasul. Hakikatnya tawasul adalah murni doa.
Walhasil, dari penjelasan singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang mereka anggap kafir sejatinya tidak demikian, melainkan gagal paham dalam membedakan antara tawasul dengan pemujaan. Wallahu A’lam.
Redaksi | Annajahsidogiri.id