Kian hari, Gerakan LGBT semakin berani menampakkan eksistensinya di mata dunia. Segala upaya mereka lakukan agar mendapatkan pengakuan dari berbagai pihak bahwa mereka bukan kelompok yang menyimpang. Mereka giat menyuarakan LGBT dalam konteks hak asasi manusia. Sehingga dari upaya mereka, saat ini mereka mendapati pengakuan dari PBB dan mendapat status konsultatif LSM Ekosos. Maka, bagai manakah sikap kita sebenarnya dalam menanggapi kelompok LGBT ini. Berikut hasil wawancara Nuris Syamsi Sifyan dan Mustafid Ibnu Khozin dengan DR. KH. Abdullah Syamsul Arifin. MHI (Gus Aab) selaku ketua PCNU Jember dan Pengasuh Pondok Pesantren Darul Arifin Curahkalong Bangsalsari Jember.
Dalang dibalik Gerakan LGBT?
LGBT adalah sesuatu gerakan yang melanggar syariat yang berupa menyalurkan kebutuhan biologis yang tidak sesuai dengan sesuatu yang ditentukan. Perlu diketahui bahwa Allah mencipakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Tugas utamanya memakmurkan bumi. Ajal manusia beda dengan bumi. Manusia dijadikan Allah sebagai makhluk regenerasi dan reproduksi. Oleh karena itu manusia dibekali gharizah / insting yang dapat melindungi mereka dari bahaya dan yang terpenting dalam masalah reproduksi dan regenerasi adalah gharizan al jinziah (insting seksual) agar supaya keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi terus berlanjut.
Baca Juga: Ayat Jilbab Tidak Mewajibkan Jilbab? (1/2)
Oleh karena itu ada tiga budaya dalam merenspon insting seksual ini. Pertama, Nahibiah. Kelompok ini menolak adanya Insting seksual. Upaya mereka adalah penggebirian. Tujuan utamanya adalah agar mereka tidak terganggu dalam beribadah. Kedua, Ibahiah. Kelompok ini cendrung memperbolehkan segala cara. Dimana ada kebutuhan biologis yang perlu disalurkan maka ia salurkan tanpa mengenal waktu dan tempat dan dengan cara apapun ia salurkan semua dan disalurkan tanpa ada kendali. Jika ini dilakukan maka keberlangsungan hidup tetap berlanjut. Namun, dampaknya akan terjadi kekacauan dalam masyarakat. Walaupun Attanasul berjalan, namun tidak jelas. Ini anaknya siapa dan dari siapa. Tidak jelas. Padahal Hifdun Nasl adalah salah satu dari Maqasidus Syar’i yang lima; yaitu Hifdud Din, Hifdun Nafs, Hifdun Nasl, Hifdul Aqli dan Hifdul Mall.
Baca Juga : Kehidupan Tidak Selamanya Rasional
Nah, penyaluran kebutuhan biologis yang bertentangan dengan Maqasidus Syar’i yang berupa Hifdun Nasl yang kemudian melahirkan keturunan, maka ini sudah terjadi kemungkaran. Dorongan seksual yang diberikan pada manusia sebenarnya bukan sekedar Tanasul. Tujuan utamanya adalah Tanasul tapi di dalamnya terdapat Attanazzuh. Maka yang terjadi pada mereka yang dianggap itu kelainan dan kecendrungan seksual yang berbeda, disorientasi seksual yang mereka mengelompokkan diri sebagai orang yang memiliki kelainan, maka semuanya itu harus difahami bahwa itu adalah sebagai pengingkaran terhadap Sunnatullah. Karena tidak akan mencapai tarjet Attanassul. Hal itu karena mereka menyalurkan kebutuhan biologis dengan suatu yang tidak sesuai dengan syariat. Padahan diberikannya Gharizah Al-Jinziah agar terciptanya Attanassul. Apapun bentuknya ini merupakan pelanggaran terhadap syariat. Dan kerena menyalahi syariat maka ini harus diperangi. Cara memeranginya meninjau kapasitas orang yang melakuakan tugas Kuntum Khaira Ummatin Ukhrijat Linnas Takmuruna Bil Makruf Wa Tanhauna Anil Mungkar.
Pihak Yang Mengkampanyekan?
Pihak yang mengampanyekan itu kebanyakan salah satunya yang pasti adalah orang yang juga memiliki disorientasi seksual. Sehingga dia membela apa yang ia perjuangkan. Mereka yang melakukan itu faktornya banyak; Bisa karena keretakan dalam keluarga atau faktor kesalahan pergaulan. Sehingga, disoriantasi seksual yang berbeda itu dicarikan pembenaran bahwa itu boleh dilalkukan dengan cara-cara yang tidak benar. Padahal yang semestinya perlu diubah bukanlah ketetapan hukum yang sesuai Maqasidus Syar’i . Namun disoriantasi seksual itu yang perlu ditata dan dibenarkan secara psikologis. Kalau dikatakan bahwa perempuan ini lebih cendrung suka dengan perempuan dan laki-laki ini cendrung suka dengan laki-laki maka hal ini pasti memiliki permasalahan psikologi dalam keluarga; mulai dari pergaulan atau ada trauma dalam keluarga. Seperti merasa ilfil pada laki-laki karena sering terjadinya kekerasan yang terjadi dan merasa nyaman pada perempuan. Sementara dorongan biologis tersebutkan diberikan karena untuk tanasul. Ini merupakan masalah psikologis yang harus diselesaikan. Bukan menuntuk dan mengubah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah.
Berati Tidak Ada Pihak Tertentu Yang Memayungi?
Kalau secara kelembagaan tidak ada, tetapi ada orang yang memandang sederhana melihat aspek kemanusian yang ia miliki. Makanya dicarikan. Sehingga, di salah satu negara sampai ada yang melegalkan perkawinan sejenis. Dan di Indonesia alhamdulillah hal itu masih terjaga, baik melalui undang undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 atau perubahan undang-undang no 16 tahun 2019 itu tidak memberikan jalan bagi pelaku LGBT untuk legal secara formal. Di luar memang mereka diwadahi dan dilindungi dan di anggap tidak sesuatu yang menyalahi.
Mereka Sering Berlindung Pada Ham?
Lah itu karena mereka memandang dalam sisi kemanusiaan. Tapi mereka lupa kenapa terjadi seperti itu. Sebenarnya yang perlu dibenahi adalah aspek psikologis mereka yang bermasalah bukan tatanan hukumnya diubah seperti yang sudah disebutkan di depan.
Konsep Ham Yang Melindungi Mereka?
Karena HAM yang berangkatnya dari Universal Human Righ yang dikumandangkan di PBB pada tahun 1949 itu berangkatnya dari gejala-gejala formal kemanusiaan secara dhahir yang memandang bahwa ia memiliki hak yang harus dipenuhi. Sedangkan kita sebagai umat Islam harus meyakini bahwa bukan itu yang menjadi dasar. Namun Makasidus Syar’i itu yang harus menjadi dasar dan yang harus dipertahankan. Dan apa yang ditetapkan oleh Islam itu tidak akan bertentangan dengan HAM kecuali salah dalam memahami HAM. Sehingga hal yang semacam ini tidak bisa dibiarkan.
Pesan-pesan pada masyarakat menghadapi LGBT?
Kita harus mengingat apa yang disabdakan Rasulullah; Inna mutamassika bidini fi akhirizzaman kal kabit ala jamrah. Tapi kalau kita berusaha berada pada jalan yang benar dan kita konsisten berada di barisan ulama untuk mersama-sama melaksanakan agama secara konsisiten Insya-Allah Allah akan memberikan kekuatan pada kita agar kita berpegangan dengan agama. dari sanalah kita harus berperinsip, di mana ada kemungkaran kita harus berani meneriakkanya sebagai kemungkaran. Tinggal bagaimana menghilangkan kemungkaran tersebut harus diukur dengan kapasitas. Kalau Allah berikan kekuatan bil yadi (dengan tangan), maka menghilangkan dengan tangan harus dilakukan. Kalau bisa dengan lisan maka dengan lisan. Kalu tidak mampu maka dengan hati. Tapi kita tidak boleh mentoleransi kemungkaran tersebut terjadi. Karena jika kita diam dan ridha dengan kemungkaran, berarti kita berada dalam kemungkaran tersebut. Jangan semata-mata karena Humanisme agama dijadikan kabur. Walaupun kita juga tidak boleh semena-mena dengan Humanisme dengan alasan agama. ini wasatiah yang di ajarkan oleh NU. Jika hal itu dijaga, maka Hablum Minannas dan Hablum Minallah terjaga dengan seimbang dan dari itulah yang akan mengantarkan pada tercapainya rahmatan lil lamin.
Comments 0