Fanatisme adalah suatu keadaan di mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama, kebudayaan atau apapun yang terlalu kuat.
Fanatisme beragama sebenarnya adalah sebuah konsekuensi seseorang yang percaya pada suatu agama bahwa apa yang dianutnya adalah benar. Dengan fanatisme beragama seseorang tidak akan mencampurkan kebenaran agamanya dengan agama lain. Pemahaman itu bersifat positif dan sangat penting pada seseorang.
Namun, dalam fanatik terkait kelompok-kelompok dalam Islam sendiri, realita ini banyak orang yang justru cenderung bersifat negatif. Karena perindividual biasanya memiliki suatu sikap penuh semangat yang berlebihan terhadap suatu pandangan tertentu. Sehingga tak jarang sikap-sikap seperti penghinaan dan lain-lain terjadi, yang ujung-ujungnya sangat memungkinkan untuk mengikis dan memecah belah umat.
Penyebab yang membikin umat buta akan kebenaran adalah menempatkan fanatisme bukan pada tempatnya. Maka, dalam hal ini perlu kiranya memahami aspek-aspek dari perbedaan pandangan yang tak bisa terlepaskan antara kebenaran yang bersifat ushul dalam agama dan kebenaran yang tergolong ijtihad-dzanni belaka.
Jika bersifat ushul atau ajaran yang pokok dalam agama, maka ini benar-benar dibutuhkan sikap fanatik untuk mempertahankan sebuah keyakinan. Sementara dalam ranah furu’, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, al-Tibyân fîn-Nahyi ‘an Muqâtha’ati al-Arham wal-‘Aqârib wal-Ikhwân hal. 33 telah memaparkan:
“Wahai para ulama fanatik kepada satu kelompok atau pendapat. Tinggalkanlah fanatisme dalam hal furu’ yang ulama sendiri dalam memandangnya terbagi menjadi dua kelompok. Ada yang mengatakan semua mujtahid benar. Ada pula yang mengatakan yang benar hanya satu, tetapi yang salah juga tetap mendapatkan pahala. Hindarilah kefanatikan dan jurang yang merusak ini (fanatisme). Bela lah agama Islam, berusaha lah memerangi orang yang menghinal Al Quran, menghina sifat Allah I dan orang yang mengajak mengikuti ilmu dan akidah yang rusak. Jihad kepada mereka adalah wajib.”
Imam Syafi’i juga telah memberikan rambu-rambu agar umat Islam selalu bersikap toleran dan tidak fanatik dalam masalah furu’. Salah satu ungkapan beliau yang familiar adalah:
“Pendapatku benar, tapi mungkin salah. Sedangkan pendapat selainku salah, tapi mungkin benar.”
Nah, ulama kita telah memberikan aba-aba agar tidak terlalu fanatik dalam hal furu’, apalagi hanya terkait fanatik buta terhadap sebuah ormas atau tokoh tertentu. Lantas, apakah kita tidak boleh berormas atau mengikuti seorang tokoh? Jawabannya adalah boleh-boleh saja. Namun, yang menjadi standart ialah ia harus sesuai dengan al-Quran dan sunah. Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ Ulûmuddîn, juz I, hlm. 53 mengutip perkataan Sayidina Ali bin Abi Thalib yang berbunyi:
“Kebenaran tidak dapat kamu ketahui dengan ketokohan seseorang. Ketahuilah kebenaran, maka kamu akan tahu tokoh yang benar.”
Meskipun al-Quran dan sunah menjadi standart dalam mencari kebenaran, agama Islam tidak berarti melarang umat untuk meninggalkan ulama atau anti-taklid seperti yang selalu disuarakan Wahabi. Bahkan, dalam al-Quran dijelaskan bahwa ulama adalah rujukan bagi mereka yang tidak paham terhadap kedua nash itu.
“Maka bertanyalah kepada ulama bila kalian tidak tahu.” (QS. An-Nahl:43)
Namun, dalam merujuk terhadap tokoh seharusnya bukan atas dasar fanatisme, melainkan karena bentuk tamassuk atau berpegang teguh terhadap perintah al-Quran di atas. Dan juga agar lebih selamat, Nabi memberi peringatan agar senantiasa mengikuti mazhab mayoritas di mana umat Islam banyak berpijak, karena di situlah yang lebih dekat pada kebenaran.
“Ketika kalian melihat perselisihan, ikutilah kelompok mayoritas”.
Mohammad Iklil | Annajahsidogiri.id
Comments 0