Liberal adalah salah satu paham yang sangat berpotensi merusak akidah umat, dengan menggunakan akal untuk mengetahui kebenaran segala sesuatu, pemikiran ini menjadi sangat berbahaya dan akan menyebabkan rapuhnya iman seseorang.
Termasuk dari pemikiran yang dihasilkan Liberal adalah relativisme. “Pemikiran manusia itu relatif, yang absolut hanya Tuhan” adalah statemen yang biasa digaungkan oleh penganut paham yang meyakini bahwa kebenaran itu relatif tergantung subjek ini. Hasil yang tampak dari keterangannya adalah manusia dengan akalnya tidaklah mampu mencapai kebenaran mutlak. Dari teori ini Liberal kemudian mulai masuk merusak akidah yang selama ini diyakini oleh umat Islam. Misalnya, mereka mengatakan, “Agama yang kau anggap benar bisa jadi salah. Agama yang kau anggap salah bisa jadi benar.”
Baca Juga: Lima Karakteristik Islam Liberal
Nur Kholis Majid dalam bukunya, Islam, Doktrin dan Peradaban berpendapat, “Hanya Allah yang mutlak, dan selain Allah, meskipun mengandung kebenaran adalah nisbi. Dengannya bagaimana mungkin seorang manusia yang nisbi mencapai sesuatu yang mutlak”.[1] Argumen ini memberi isyarat bahwa manusia tidak bisa mencapai kebenaran, sebab tidak ada sesuatu pun bisa dianggap kebenaran, kecuali bisa diklaim salah oleh orang lain.
Memang benar, akal manusia tidak mampu mencapai kebenaran mutlak, hanya saja Allah telah memberikan petunjuk agar manusia bisa meraih kebenaran itu melalui pelantara dan sumber yang pasti. Oleh karenanya, kebenaran dalam Islam itu dapat dicapai. Di dalam al-Quran Allah telah menjelaskan bahwa kebenaran telah turun dari Allah, maka tidak dibenarkan seorang Muslim untuk ragu-ragu menerima kebenaran itu (QS. Al-Baqarah: 2)
Kebenaran itulah yang kemudian diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad. Jadi kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Islam merupakan pengetahuan absolut dalam Islam. Jika mereka mengatakan bahwa manusia tidak bisa meraih kebenaran absolut sebagaimana yang dimaksud Tuhan, berarti mereka tidak percaya kepada kenabian Nabi Muhammad SAW. Sebab tidak mungkin Allah menurunkan wahyu kepada orang yang tidak dipercayai-Nya.
Penolakan keras paham relativisme ini juga pernah disampaikan oleh Imam Sa’ad ad-Din at-Taftazani. Beliau mengatakan bahwa hakikat kebenaran itu bersifat pasti dan absolut. Demikian itu dapat diketahui dengan 3 sarana yaitu: Pacaindra, khabar shadiq (informasi yang benar seperti khabar mutawatir dan khabar para rasul) dan akal.[2] Sedangkan dalam paham relativisme, mereka hanya mempertimbangkan kebenaran sesuatu melalui pendekatan akal dan rasio tanpa menghiraukan keberadaan khabar shadiq.
Baca Juga: Kesetaraan dan HAM Berakar dari Hermeneutika
Kemudian, penting untuk diketahui, dalam menilai hal yang benar yang dilakukan oleh manusia ini, ilmu dan iman harus selalu hadir. Ilmu berperan sebagai pengantar manusia menuju pencapaian pengetahuan (kebenaran) dan iman sebagai pemantap jiwa atas pengetahuan yang diterima.
Jadi, manusia sangat mungkin mengetahui hakikat sesuatu yakni melalui wahyu. Setelah manusia mendapat pengetahuan melalui wahyu tersebut, manusia diperintah konsisten dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah itu, dengan mengamalkan apa yang menjadi pengetahuannya.
Walhasil, jika mereka mengatakan, orang Islam tidak boleh menganggap agama Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, sebab tidak ada kebenaran yang benar-benar mutlak kecuali hanya Allah yang tahu, maka pendapat ini bisa dipastikan salah, sebab Allah telah menetapkan bahwa Islamlah agama yang benar melalui firman-Nya:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali ‘Imran: 19)
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)
Moh Kanzul Hikam | Annajahsidogiri.id
[1] Nurcholish Madjid, Doktrin dan Peradaban: Sebauah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hal XI
[2] Sa’ad ad-Din at-Taftazani, Syarh al-Aqidah an-Nasafiyyah (Kairo: Maktabah Kulliyat al-Azhariyyah, cet. I, 1407/1987 M), hal 16