“Kembali kepada al-Quran dan Sunnah”. Sebuah ungkapan yang kadang kita dengar dari sebagian kalangan. Memang, al-Quran dan Sunnah merupakan dua sumber primer ajaran Islam yang diwariskan oleh Rasulullah r, sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia selamat dari kesesatan.
Sampai di sini, mungkin muncul tanda tanya, “Bagaimana mungkin kelompok yang menyerukan ‘kebenaran yang ideal’ berdasar al-Quran dan Sunnah masih di anggap keliru oleh para ulama di zamannya? Mengapa pula paham sebuah kelompok di zaman sekarang yang semua ajarannya merujuk kepada al-Quran dan Sunnah juga dianggap menyimpang?
Mari kita perhatikan permasalahan ini secara komplit, agar terlihat “akar masalah” yang ada pada sikap yang terlihat sangat bagus dan ideal tersebut:
Pertama, prinsip “Kembali kepada al- Quran dan Sunnah” adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Namun, benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang bahwa tingkat kemampuan setiap orang dalam memahami al-Quran dan Sunnah berbeda-beda. Pastinya, pemahaman terhadap al-Quran atau Sunnah dari seorang alim, pakar Bahasa Arab, ahli segala ilmu penafsiran dan perangkat ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman orang awam yang mengandalkan buku-buku “terjemah” al-Quran atau Sunnah.
Itulah kenapa di zaman ini banyak bermunculan aliran menyimpang. Jawabannya, karena masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Masing-masing berupaya mengkaji dengan kapasitasnya sendiri, padahal belum punya kemampuan di bidang ini. Sebut saja Yusman Roy (mantan petinju yang merintis salat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril). Dan kesalahpahaman sebagian kelompok dalam memahami dalil-dalil tentang bid’ah, syirik, ziarah kubur dls.
Baca Juga : Meluruskan Maksud Hadis ” Kullu BId’atin Dholalah “
Kedua, al-Quran dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu. Sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassirin (ulama tafsir), muhadditsin (ulama Hadis), fuqaha (ulama fiqih), pakar akidah ahlussunnah waljama’ah, dan ulama tasawuf. Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Quran dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud cinta mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari.
Adalah sebuah keteledoran besar upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara “kembali kepada al-Quran dan Sunnah” dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Apalagi jika sampai memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah). Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab yang dianggap sampah jika kitab-kitab setelah abad ke-3 tidak diabsahkan.
Ketiga, Para ulama telah menghidangkan penjelasan kandungan al-Quran dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah “hasil jadi”. Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Quran dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni. Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah r dan para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara’ (kehati-hatian) , keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Trilogi Tauhid Salafi Wahabi
Pendek kata, para ulama seakan-akan telah menghidangkan “makanan siap saji” yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Disaat ada kelompok mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, dan mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Quran dan Sunnah dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran “pendapat” manusia yang tidak memiliki wilayah untuk menetapkan syari’at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya untuk menanam padi.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa orang yang “kembali kepada al- Quran dan Sunnah” itu belum tentu dapat dianggap benar, dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid kitab tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Amat ironis bila karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Quran dan Sunnah itu dituduh oleh kalangan tertentu sebagai kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada dalil.
*Penulis adalah Pimred Sidogiri Media