Diantara tema perbincangan yang sampai saat ini masih berkembang, serta memicu polemik di tengah masyarakat adalah “Wacana toleransi”. Pasalnya, tidak sedikit dari kalangan pemuda atau akademis yang mempersoalkan sikap toleransi dalam Islam, yang menurut sebagian mereka, Islam tidaklah memiliki akar toleransi, agama garis keras, radikal dan berbagai klaim buruk lainnya. Sementara itu, sebagian lain yang pro-toleransi, mereka memahami toleransi dalam Islam tidak sesuai dengan Islam itu sendiri. Imbasnya adalah mereka mengesahkan praktik-praktik yang justru malah merusak akidah umat. Sebenarnya, bagaimanakah konsep normatif toleransi dalam Islam? Simak kajian singkat berikut ini.
Islam sendiri telah mengajarkan kita untuk bertoleransi dengan sesama manusia. Tanpa pandang bulu, ras, bangsa, maupun agama. Sumber statement tersebut adalah ayat 13 surah al-Hujurat:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Wahai manusia sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia diantatara kamu adalah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti. (QS. al-Hujurat: 13)
Baca Juga: Memahami Islam Sebagai Agama Toleransi
Jelas sekali, Islam sangat menjunjung perbedaan dan sarat dengan nilai toleransi, karena pada dasarnya, manusia diciptakan berbeda -beda baik suku, ras, maupun agama untuk saling mengenal, berinteraksi dan hidup bersama. Hanya kemudian yang membuat mereka lebih unggul daripada yang lain adalah level ketaqwaanya. Mereka yang bertaqwa lebih mulia di sisi Allah daripada yang tidak bertaqwa. Artinya. Dalam soal ‘Muamalah’ Islam sama sekali memperbolehkan mereka untuk menjalin hubungan sosial dengan berinteraksi, komunikasi ataupun yang lainnya. Di tambah, Islam tidak pernah melegalkan ‘Paksaan‘ kepada pemeluk agama lain untuk masuk agama Islam sebagaimana termaktub dalam ayat berikut:
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ – ٢٥٦
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah: 256)
Namun meski demikian, hal itu tidak lantas menafikan kewajiban untuk menyampaikan kebenaran. Sebab manusia diciptakan semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Untuk menyampaikan kepada semua umat tentang fitrah mereka diciptakan, maka diwajibkanlah ‘Amar Makruf Nahi Mungkar’-tentu dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Al Quran -. Setelah upaya kita jalankan, namun tidak kunjung membuahkan hasil, barulah setelah itu kita diberikan penyadaran “Tidak ada paksaan dalam Islam”. Sebab tugas kita hanyalah menyampaikan, sedang urusan hidayah adalah tuhan yang menentukan, kepada siapa Ia berikan.
Abdul Jalil | Annajahsidogiri.ID