Sudah rutinitas bagi golongan Ahlusunah wal Jamaah tiap tahunnya pada tanggal 12 Rabiul Awal merayakan hari kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Perayaan yang bermaksud untuk bersyukur akan kelahiran Nabi Muhammad. Sayidina Abbas pernah bersyiir mengenai kelahiran Nabi,
“وَأَنْتَ لَمَّا وُلِدْتَ أَشْرَقَتِ اْل … أَرْضُ وَضَاءَتْ بِنُوْرِكَ اْلأُفُقُ”
Ketika engkau dilahirkan, bumi menjadi bersinar dan cakrawala menjadi terang berkat cahayamu.
“فَنَحْنُ فِي ذَلِكَ الضِّيَاءِ وَفِي ال … نُّوْرِ وَسُبُلِ الرَّشَادِ نَخْتَرِقُ.”
Maka kami menerobos dalam sinar, cahaya dan jalan-jalan petunjuk itu.
Baca Juga: Maulid Nabi Perspektif KH Hasyim Asy’ari
Dalam perayaan maulid Nabi, setiap orang berhak merayakannya dengan cara khas daerah masing-masing. Gorontalo misalnya, penduduk Gorontalo memeriahkan maulid Nabi dengan membagi-bagikan kue tradisional. Atau di Mojokerto yang memeriahkannya dengan tradisi walima, yakni membagi-bagikan hasil bumi dan produk asli desa setempat, seperti kolombengi, curuti, bulu deli, dll.
Meski mereka merayakan maulid Nabi dengan cara yang berbeda-beda tetapi sejatinya tujuannya hanya satu, mensyukuri dan merasa bahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad.
Namun sangat disayangkan, di hari yang mulia ini masih saja kaum Wahabi mempertanyakan keabsahannya. Hujah mereka dalam menolak maulid dari dulu hingga sekarang sama saja, yakni, “Kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin-nar”. Begitu dangkal pemikiran mereka hingga semua hal dibidah-bidahkan hanya dengan satu hadis.
Misal, beberapa waktu lalu Ustaz Firanda melalui situsnya, Firanda.com, menulis hujatan terhadap golongan Ahlusunah yang merayakan maulid tidak dengan cara semestinya. Pasalnya ia mengakui akan dalil maulid dengan hadis Nabi yang berbunyi, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin, maka beliau menjawab: ‘Itu adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus sebagai Nabi, dan hari diturunkan wahyu kepadaku.” (HR Muslim no 1162).
Baca Juga: Komentar Tentang Maulid; dari Imam as-Suyuthi hingga Ibnu Taimiyah
Namun ia berpandangan bahwa maulid Nabi yang sudah biasa kita rayakan adalah salah dan merupakan hal yang tercela. Contohnya, pelaksanaan maulid yang hanya tertentu pada tiap tahun dan cara merayakannya yang terkesan membuang-buang uang (idha’ul mal) karena banyaknya makanan yang disediakan pada acara tersebut. Hal ini merupakan bidah yang tak pernah dilakukan oleh Nabi.
Selanjutnya, pentolan Wahabi ini juga menyodorkan dua pertanyaan kepada golongan Ahlusunah wal Jamaah. Pertama adalah mengapa golongan Ahlusunah merayakan maulid dengan menyediakan banyak makanan, bukankah jika mengikuti Hadis di atas, seharusnya maulid dilakukan dengan berpuasa sebagaimana yang dipraktikkan Nabi? Kedua, mengapa perayaan maulid Nabi hanya dilakukan tiap tahun, bukankah Nabi berpuasa merayakan kelahirannya tiap pekan?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita perlu meninjau ulang tujuan perayaan tersebut. Tujuan perayaan tersebut yang biasa golongan Ahlusunah wal Jamaah lakukan adalah sebagai rasa syukur akan kelahiran Nabi sebagaimana Nabi bersyukur akan kelahirannya dengan cara berpuasa.
Di sisi lain Rasul juga telah bersabda, “Aku adalah rahmat yang dihadiahkan”. Sedangkan Allah telah berfirman agar kaum Muslim berbahagia tiap kali mendapat rahmat, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surah Yunus ayat 58.
Kebahagiaan pada suatu hal boleh dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya dengan membagi-bagikan makanan pada sesama. Jadi apa yang telah dilakukan oleh kaum Ahlusunah tidaklah keliru. Sedangkan terkait pernyataan mereka yang beranggapan bahwa hal itu membuang-buang uang juga salah. Sebab makanan yang dibagikan itu tujuannya sebagai sedekah. Jadi tidak hanya pahala merayakan maulid yang diraih namun juga pahala bersedekah.
Adapun pertanyaan kedua mengenai perayaan maulid yang dilakukan tiap tahun itu tidaklah benar. Ahlusunah merayakannya tidak hanya tahunan bahkan harian. Tiap hari salawat dilantunkan oleh golongan Ahlusunah sebagai bentuk kebahagiaan terhadap Baginda Muhammad SAW. Sedangkan perayaan maulid yang dilakukan tiap tahun adalah puncaknya yang bertepatan dengan tanggal kelahirannya. Wallahu a’lam
Ghazali|annajahsidogiri.id