Dalam perspektif fikih, hubungan nikah suami-istri menjadi sebab keduanya memiliki beberapa hak yang sama-sama wajib dilaksanakan. Apabila kewajiban-kewajiban itu dilaksanakan dan dipenuhi oleh keduanya secara baik dan tepat, maka hal itu akan menumbuhkan hubungan erat yang dapat membuat keduanya semakin harmonis.
Hanya saja, melalui konteks ini para aktifis gender kemudian banyak mengkaji hak-hak wanita. Menurut mereka, penafsiran dan produk hukum kitab-kitab turats terhadap hak-hak wanita dinilai diskriminatif dan subordinatif.
Sebagai contoh masalah poligami, ‘iddah, warisan, aurat, talak, persaksian, nusyuz dan izin keluar rumah yang semuanya menitik beratkan kepada kaum wanita. Hidupnya seakan-akan menjadi babu, terkungkung di dalam rumah, mengurusi urusan rumah tangga, tidak bebas sebagaimana kita kaum pria. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lain yang menurut mereka dinilai sebagai bentuk diskriminasi dan subordinasi.
Secara garis besar, apa yang melatar belakangi perbedaaan hukum syariat terhadap laki-laki dan wanita, baik dalam sosial maupun rumah tangga? Dan bagaimana kita memastikan bahwa wanita diatur di dalam islam secara adil dan menjamin kesejahteraan sosial serta keharmonisan rumah tangga? Maka mari kita nikmati ulasan berikut ini.
Garis besar yang melatar belakangi perbedaan hukum syariat antara laki-laki dan wanita, baik dalam sosial maupun rumah tangga adalah perbedaan fitrah atau karakter antara keduanya. Dimana fitrah wanita lebih lemah lembut dari pada laki-laki akan tetapi pemikirannya lebih lemah. Sedangkan laki-laki lebih unggul dalam aspek pemikiran akan tetapi lemah dalam aspek kelembutan dan kehalusan. Adanya keunggulan dan kekurangan ini agar menyempurnakan satu sama lain sekaligus menjadi faktor yang membedakan hukum syariat antar keduanya.
Berkaitan dengan hal itu, Allah swt berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ
“Para laki-laki lebih kuat dari pada perempuan.” (QS. An-Nisa: 34)
Namun, ayat ini seringkali dijadikan alat untuk menuduh bahwa Islam tidak adil dan tidak memandang sama laki-laki dan perempuan.
Dr M. Said Ramadlan al-Buthi dalam kitabnya yang bertajuk La Ya’tihil-Bathil menuturkan bahwa tuduhan itu tidak benar, bahkan sebaliknya islam memandang sama terhadap laki-laki dan perempuan dan mentiadakan wilayahbagi laki-laki kepada perempuan. Allah berfirman:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Menurut beliau, untuk menjawab tuduhan miring itu, kita harus memahami perbedaan kata wilayah dan kata qawamah. Dalam istilah syarak, wilayah adalah efek dari kurangnya kekuasaan pada seseorang. Sedangkan qawamah adalah tanggung jawab suami perihal urusan istri dalam menjaganya dari segala sesuatu yang membahayakan serta bertanggung jawab atas segala kebutuhan materi maupun maknawi[1]. Beliau juga dalam kitabnya yang bertajuk Yughalitunaka Idz Yaqulun menjelaskan bahwa maksud dari kata qawamah bukanlah penguasaan melainkan administrasi dan tata usaha[2].
Kehidupan rumah tangga adalah bagian kehidupan sosial. Pada setiap perkumpulan, mau tidak mau harus ada pemimpinnya. Karena dalam setiap perkumpulan pasti terjadi perbedaan pendapat dan kecondongan, sehingga kemaslahatan hanya bisa tercapai bila terdapat pemimpin yang dijadikan rujukan. Lantas siapakah yang pantas menjadi pemimpin rumah tangga?[3]
Tentu jawabannya adalah suami. Sebab, yang wajib menafkahi keluarga adalah suami dan apabila terjadi kejadian yang membahayakan rumah tangga, yang menjadi orang terdepan adalah suami, pun seorang perempuan akan berlindung di belakang laki-laki. Demikianlah fitrah manusia, sehingga logis bila Islam memperlakukan mereka sesuai dengan fitrah mereka dalam kehidupan rumah tangga maupun kehidupan sosial yang lain.
Dapat kita fahami dari pemaparan di atas bahwa ayat itu sama sekali tidak mengindikasikan adanya diskriminasi pada perempuan, bahkan ayat tersebut hanyalah penegasan akan perbedaan fitrahatau karakter antara keduanya.
Beberapa hukum yang dianggap oleh sebagain pegiat feminisme sebagai bentuk diskriminasi dan subordinasi, memanglah sangat sulit untuk dipahami oleh mereka. Oleh karena itu, mari kita diskusikan secara kritis dan objektif hukum-hukum tersebut secara terperinci.
Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi menjelaskan bahwa hukum syariat terklasifikasi menjadi dua, yaitu dogmatif (ta’abbudi) dan rasional (ta’aqquli). Maka, ada beberapa hukum syariat yang memang tidak bisa diketahui alasan atau hikmahnya, seperti riba dan beberapa tatacara bersuci dari hadas baik kecil maupun besar. Namun, sebagaian ulama berpandangan bahwa segala hukum syariat pasti terdapat hikmah dan rahasia yang terkandung di dalamnya[4].
Maka sikap yang tepat untuk menanggapi propaganda para liberalis ialah memahami satu persatu hikmah mendasar disyariatkannya hukum-hukum tersebut. Beberapa hukum yang sering disalah pahami oleh mereka seperti poligami, ‘iddah, warisan, aurat, talak, persaksian dan nusyuz. Penjelasan tentang hal ini akan kami jelaskan di part ke-2. Insyaallah.
M Wildan Husin | Annajahsidogiri.id
[1] La Ya’tihil-Bathil 56
[2] Yughalitunaka Id Yaqulun 85
[3] Yughalitunaka Id Yaqulun 92
[4] Hikamtut-Tasyri’ wa Falsafatuh 1/12