Potongan video melintas dari suatu akun pada sebuah platform social media. Cuplikan video itu menampilkan sesosok perempuan feminis yang menolak tunduk pada suami dalam menjalani bahtera rumah tangga. Malah, lebih dari itu, ia merasa lebih layak menjadi pemimpin di dalam rumah tangganya itu.
Keangkuhan si feminis itu bukan tanpa alasan. Ia berdalih bahwa yang dimaksud “laki-laki adalah pemimpin bagi wanita” pada surah an-Nisa ayat 34 itu bukan laki-laki secara gender, melainkan pihak yang memiliki nilai lebih (seperti dalam hal penghasilan atau pendidikan lebih tinggi), serta pihak yang menafkahkan sebagian hartanya untuk keluarga.
Jadi, jika dalam sebuah rumah tangga pihak istri yang karirnya lebih tinggi dibandingkan suami, penghasilannya juga lebih tinggi, bahkan si istri itu juga yang menafkahkan hartanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka berarti istri itulah yang merupakan pemimpin bagi suami dan keluarganya.
Baca Juga: Menyoal Cinta Syiah kepada Ahlul Bait
Penafsiran tersebut, bagaimanapun, adalah tafsir yang bias gender, karena penafsir feminis berusaha untuk menarik teks agar sesuai dengan ideologi feminisme yang dianutnya. Jadi penafsiran itu sudah bermasalah dan tidak netral sejak awal, tidak berpegang pada perangkat-perangkat keilmuan yang niscaya, seperti tata bahasa Arab, konteks, dan pandangan ulama ahli.
Padahal, menurut ilmu tata bahasa Arab, “ال” yang terdapat dalam kalimat “الرجال” pada QS. An-Nisa’ ayat 34 itu disebut “ال الجنسية”, yakni “ال” untuk menunjukkan gender. Apalagi kemudian kata “الرجال” itu dihadap-hadapkan dengan kata “النساء”. Maka semakin jelas bahwa yang dimaksud adalah laki-laki secara gender. Jadi bukan sekadar kata simbolis yang menunjukkan pada superioritas.
Maka apa jadinya jika ada kata dalam al-Quran yang jelas-jelas dimaksudkan untuk penunjuk pada gender secara spesifik, kemudian oleh kaum feminis malah kata itu dikaburkan makna dan tujuannya, hanya untuk mendukung syahwat feminisme di dalam benak mereka? Maka jelas penafsiran mereka itu termasuk kategori tafsir dengan nalar yang tercela, yang pelakunya diancam neraka.
Itulah sebabnya kenapa para ulama ahli tafsir sejak periode yang paling awal hingga saat ini, mulai dari ath-Thabari (w. 310 H) hingga asy-Sya‘rawi (w. 1419 H), tidak ada yang memberikan penafsiran liar dan tidak ilmiah seperti halnya kaum feminis. Hal demikian karena para ulama konsisten pada kaidah keilmuan, baik ilmu tata bahasa maupun ilmu penafsiran al-Quran, yang harus memiliki sandaran kuat dari keterangan di dalam al-Quran sendiri atau dari hadis-hadis Nabi ﷺ.
Tafsir feminis itu berbahaya bukan hanya karena ia telah merusak pemahaman yang benar terhadap al-Quran, tapi juga bisa memberikan efek destruktif pada kehidupan umat secara riil. Hal demikian karena tafsir feminisme bisa menggagalkan tujuan yang disasar oleh syariat Islam (maqashid syariah), yaitu berupa terciptanya bangunan rumah tangga ideal, guna mengantarkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Baca Juga: Memahami Apa Itu Ilmiah?
Untuk bisa mencapai tujuan tersebut, syariat menetapkan laki-laki (suami) sebagai nahkoda, karena Allah telah memberikan kelebihan barupa kekuatan fisik dan mental untuk berjuang di luar rumah, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sedangkan istri diberi tugas yang juga berkesuaian dengan kodratnya, dengan kelebihan yang ada pada dirinya, yaitu mendidik anak-anak dengan penuh kasih sayang, karena hanya dengan itu mereka bisa tumbuh menjadi generasi-generasi yang berkualitas.
Sekarang apa jadinya jika istri ngotot mau nenyaingi suami dalam segala aktivitas dan perannya? Maka jelas akibatnya adalah rusaknya tatanan keluarga, di mana rumah dibiarkan kosong tanpa ada yang menjaga, anak-anak dibiarkan pergi kemanapun dan melakukan apapun tanpa filter, tanpa kontrol, dan bahkan tanpa sentuhan kasih sayang seorang ibu.
Profil rumah tangga yang seperti itu tidak akan menghasilkan apapun selain kekacauan, dan semuanya diakibatkan ego feminisme. Karena istri bersikeras menyaingi suami dalam hal dominasinya atas rumah tangga, sehingga tidak terjadi mekanisme check and balance di dalamnya. Ketimpangan dalam rumah tangga dan ruang kosong yang mereka tinggalkan, sudah pasti akan menjadi jurang yang menenggelamkan mereka semua ke dasarnya yang curam.
Wallahu a’lam bis-shawab
Shohibul Widad al-Faqih | Annajahsidogiri.id