Keburukan Datang dari Allah
Hal dasar pertama yang perlu kita yakini adalah bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah I. Dialah satu-satunya Pencipta. Tiada yang lain. Allah I sendiri berfirman dalam al-Quran surah az-Zumar ayat 62:
“Allah Pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.”
Ketika menafsiri ayat ini, Imam al-Alusi dalam Tafsȋr Rûhil-Ma’âni, juz 12, hlm. 276,mengatakan:
“Allah adalah Dzat yang menciptakan segala sesuatu, baik dan buruk, juga iman dan kafir.”
Ahlusunah wal Jamaah, kata Imam al-Baijuri dalam Tuhfatul-Murȋd, hlm. 68 tetap meyakini bahwa keburukan sekali pun itu datang dari Allah I. Namun, karena alasan adab, tidak pantas kita menisbatkan keburukan kepada Allah I, kita hanya menisbatkan yang baik-baik kepada-Nya, dan yang jelek kita nisbatkan kepada diri kita sendiri.
Baca Juga: Hidangan Penangkal Keburukan Jin
Pekerjaan Allah Tidak Mempunyai Tujuan
Jika pekerjaan makhluk didorong oleh suatu tujuan, maka tidak demikian dengan pekerjaan Allah I. Pekerjaan Allah tidak didasari oleh ghardun (tujuan).
Imam Fakhrud-Din ar-Razi dalam Tafsȋrur-Râzi, juz 1 hlm. 432, menjelaskan:
“Ashhabuna (Asyairah) berpendapat bahwa Allah I melakukan sesuatu bukan karena tujuan tertentu, sebab jika Allah I melakukan sesuatu karena tujuan tertentu, berarti Allah I berusaha menjadi sempurna dengan mencapai tujuan itu. Setiap zat yang berusaha untuk sempurna masih membutuhkan zat lain, berarti zat itu sendiri tidak sempurna. Demikian mustahil bagi Allah I (Allah wajib sempurna dengan zat-Nya sendiri).”
Hikmah di Balik Segala Keburukan
Setelah kita tahu bahwa pekerjaan Allah I tidak mempunyai tujuan tertentu, kita juga harus meyakini bahwa segala sesuatu yang Allah I ciptakan pasti mengandung hikmah. Alasannya karena akan menjadi sia-sia (abats) sesuatu yang Allah I ciptakan jika tidak ada hikmahnya. Imam al-Baijuri dalam kitabnya yang lain, Hâsyitul-Baijûri ‘alâ Ummil-Barâhȋn, hlm. 127mengatakan:
“Ketahuilah bahwa meski segala pekerjaan dan hukum Allah I suci dari tujuan, akan tetapi pekerjaan dan hukum Allah I tidak akan lepas dari hikmah, walau akal kita tidak mampu menangkap hikmah itu. Sebab jika pekerjaan atau hukum Allah tidak memiliki hikmah, maka semua itu menjadi sia-sia. Tidak mungkin pekerjaan Allah I sia-sia.
Apa perbedaan tujuan dan hikmah? Imam al-Baijuri melanjutkan:
“Perbedaan tujuan dan hikmah adalah, bahwa tujuan itu yang menjadi maksud pekerjaan atau hukum. Dengan kata lain, tujuan itu lah yang mendorong Allah melakukan sesuatu. Sedangkan hikmah tidak demikian.”
Lalu bagaimana cara kita melihat keburukan yang ada di muka bumi ini? Seperti kekufuran, misalnya. Pertama-tama, kita yakin bahwa kekufuran itu yang menciptakan adalah Allah I. Kedua, Allah I tidak punya tujuan atas kehendak penciptaan terhadap kekufuran. Ketiga, pasti ada hikmah di balik penciptaan Allah I terhadap kekufuran.
Tiga hal dasar ini berlaku kepada semua pekerjaan Allah. Wallahu ‘a’lam.
Badruttamam | Annajahsidogiri.id