Pembahasan seputar ahlulbait termasuk hal yang urgen dalam Islam, karena terdapat ayat Al-Qur’an dan beberapa hadis yang secara gamblang menjelasakan keutamaan keluarga Nabi serta memerintahkan kita untuk memuliakan mereka. Namun sangat disayangkan, akhir-akhir ini keberadaan ahlulbait masih dipertanyakan. Entah apa motif dibalik fenomena tersebut. Nah, untuk mengenal lebih dekat lagi dan menumbuhkan rasa cinta serta takzim kita kepada ahlulbait, berikut hasil wawancara A. Sholahuddin Al-Ayyubi dari AnnajahSidogiri.id kepada Habib Ridho bin Abdullah BSA, Pembina Majelis At-Taufiqi Pasuruan, di kediamannya:
Siapakah Ahlulbait itu?
Ada tiga pendapat mengenai siapa ahlulbait . Pertama, ahlulbait itu adalah istri-istri Nabi. Kedua, ahlulbait itu adalah ‘ashabah Rasulullah dari orang-orang mukmin. Ketiga, ahlul-kisâ’ yaitu Sayidina Ali, Sayidah Fatimah, Sayidina Hasan dan Sayidina Husein serta para keturunannya sebagaimana termaktub dalah hadis sahih, Ummu Salamah berkata: “Nabi ﷺ berada di rumah saya bersama Fatimah, Ali, Hasan, dan Husain, lalu saya membuatkan untuk mereka Khazirah (makanan yang terbuat dari daging dan tepung), dan mereka memakannya. Setelah itu Nabi ﷺ mengumpulkan Fatimah, Hasan, Husain, dan menutupi mereka dengan sebuah Kisâ’ (pakaian panjang yang terbuat dari bulu hitam), dan beliau ﷺ juga menutupi Ali yang berada di belakang beliau. Kemudian Nabi berseru, “Ya, Allah! Inilah ahli baitku! Maka Jauhkanlah mereka dari setiap kekotoran, dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya!’.
Pendapat ketiga ini merupakan pendapat yang paling sahih, karena ketika itu Ummu Salamah (istri Nabi) menanyakan, “Apakah aku termasuk ke dalam kelompok mereka wahai Rasulullah?”, ternyata apa dawuh rasul, ”Kamu tetaplah di tempatmu dan kamu akan menuju akhir yang baik.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Kamu termasuk di antara istri-istri Nabi ﷺ, Nabi ﷺ tidak berkata, “Kamu termasuk ahlulbait”.
Apa saja kewajiban kita kepada Ahlulbait?
Termasuk kewajiban kita terhadap ahlulbait adalah takzim serta mencintai para dzurriyyah Nabi. Al-Imam asy-Sya‘rani pernah berkata, “Min ta‘zhimin-Nabî ta‘zhîmu ahlî baytihi.” Mengenai takzim kepada ahlulbait, banyak teladan dari ulama kita baik yang di Indonesia atau di luar negeri, seperti Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dengan Syekh Abu Bakar bin Salim. Beliau berdua hidup semasa, namun tidak pernah bertatap muka. Tapi, takzimnya Imam Ibnu Hajar begitu luar biasa, padahal beliau tidak pernah bertemu.
Bahkan, bukan hanya mentakzimi (menghormati) dzurriyyah-nya, kepada orang yang masih nyambung kepada Nabi dengan suatu sabab; ilmu dan hubungan perkawinan (besanan), seperti para sahabat dan ulama, kita juga harus takzim kepada mereka. Semisal Sayidina Salman al-Farisi. Dalam suatu hadis, Nabi pernah berkata, “..Salmân minnâ.” Padahal, jika melihat jalur nasab, Sayidina Salman al-Farisi bukanlah siapa-siapanya Nabi. Tapi Nabi ﷺ mengatakan bahwa ia termasuk dari golongan Nabi ﷺ. Begitu juga ceritanya Abdullah bin Abbas dengan Zaid bin Tsabit.
Di samping itu, kita juga harus mencintai ahlulbait. Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda, “…Ahibbûnî li hubbil-llâh wa ahibbû ahla baytî bi hubbî”. Artinya: “.… cintailah aku atas dasar cinta kepada Allah dan cintailah keluargaku atas dasar cinta kepadaku”. Dari hadis ini jelas, kalau kita cinta kepada Rasulullah ﷺ, maka kita juga harus mencintai ahli baitnya.
Perlu diketahui bahwa takzim kepada ahlulbait itu tidak butuh kepada dalil yang sahih, tapi butuh kepada hati yang bersih, sebagaimana dawuhnya Habib Salim asy-Syatiri, “Takzhimu âli baitin-nabî la yahtâj ilâ dalîl shahîh, bal yahtâj ilâ qalbin shahîh”.
Cara kita menyikapi Ahlulbait yang nyeleneh?
Sikap secara umum, ya! sebagaimana kita menyikapi pelaku dosa; siapapun orangnya, kita tidak boleh membenci dzatiyah kemanusiaannya, melainkan yang harus kita benci adalah dosa atau kemaksiatan yang ia kerjakan. kalau kita berkaca kepada sejarah Nabi, dulu ada perempuan yang berzina menemui Rasulullah, dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah berzina, sucikanlah aku dari dosaku.” Rasulullah kemudian memintanya untuk pulang. Esok harinya ia itu datang lagi. “Mungkin engkau enggan untuk menjatuhkan hadd (hukuman) untukku sebagaimana yang engkau lakukan terhadap Ma’iz bin Malik. Demi Allah, aku telah hamil (dari hasil zina),” katanya mencoba meyakinkan. “Aku tetap menjawab tidak, pergilah sampai kau melahirkan,” jawab Rasulullah. Setelah sekian lama dan wanita itu telah melahirkan, ia kembali mendatangi Rasulullah sambil menggendong bayinya sebagai bukti, dan berkata, “Ini bayinya, aku telah melahirkannya.” Rasulullah menjawab, “Pergilah dan susui dia sampai engkau selesai menyapihnya.”
Hadis ini banyak memberi kita pelajaran, di antaranya bahwa ketika menghukumi orang yang salah, kita harus hukumi salahnya, bukan menghukumi dzatiyah orangnya. Karena dosa merusak harga diri seorang itu lebih besar daripada dosa merobohkan Ka’bah. Kalau salahnya, tetap kita hukumi salah, tetap harus ditegor, cuma mungkin yang berbeda cara menegornya. Sekelas Nabi Musa saja disuruh mendakwahi Fir’aun dengan lemah lembut, padahal Firaun seperti itu, sebagaimana dalam Al-Qur’an:
فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا
Kalau salah tetap salah, tapi cara kita menyikapi yang perlu kita pelajari, apalagi yang melakukan kesalahan para keturunan Nabi. Kalau cerita tentang sikap ulama kepada ahlulbait yang agak nyeleneh banyak!, namun tidak bisa dijadikan dalil, ya! tergantung mukhâtab-nya(orang yang sedang kita ajak bicara), kalau ia satu pendapat dengan kita, cerita tersebut bisa dijadikan ibrah (pelajaran) atau minimal sebagai keyakinan diri sendiri. Karena sebesar apapun dosa seorang, masih ada harapan untuk mendapat ampunan dari Allah, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an:
قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
Dulu ada seorang ulama yang melihat habib meminum khamr, lalu ia dalam hatinya terbesit, “Apa ini”. Pada malam harinya, ulama tadi langsung bermimpi Sayidah Fatimah az-Zahra. Dalam mimpi tersebut, Beliau tidak menghiraukan ulama tadi, di depan Sayidah Fatimah ada Rasulullah. Lalu, ulama tadi memanggil Rasulullah, namun panggilan tersebut tidak dihiraukan oleh Rasulullah. Setelah beberapa kali memanggil, kemudian Rasulullah bersabda, “Apa yang membuat Aisyah marah juga membuat diriku marah”. Sehingga ulama tersebut ingat tentang apa yang ia kerjakan, dan setelah ulama tadi bangun, ia langsung meminta maaf kepada seorang habib yang pernah terbesit prasangka buruk dalam hati ulama tersebut.
Imam al-Gazali mengajak kita berpikir tentang kemuliaan nasab antara sorang sayid (durriyah Nabi) dan alim; dilogikakan seumpanya ada seorang alim dan syarif, dan keduanya sama-sama gila. yang alim dipaggil apa? Ya! dipanggil gila, karena ilmunya itu ‘arid (bukan bawaan lahir) tidak mendarah daging, kalau ilmunya hilang, maka dipanggil gila (titel ulamanya juga ikut hilang). Kalau yang syarif gila dipanggil apa? tetap dipanggil syarif karena kemuliaannya (bawaan lahir) dan sudah mendarah daging (dzâtiy) bukan baru datang.
Apakah benar dosa Ahlulbait ada yang menjamin?
Untuk urusan dosa ini tidak ada yang tahu, karena itu merupakan amru rabbî. Jadi, tidak ada pendapat yang pasti tentang urusan dosa yang dijamin, yang tahu hanya Allah. Setahu saya, tidak ada yang menjamin. Kalau kita mengacu kepada tafsir, urusan dosa dan pahala itu dalam ayat:
يٰنِسَاۤءَ النَّبِيِّ مَنْ يَّأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ يُّضٰعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِۗ وَكَانَ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرًا
“Wahai istri-istri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu, mudah bagi Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 30).
Dari ayat tersebut para sâdah Bâ‘alwy berkesimpulan bahwa ayat ini termasuk peringatan (tandzir) kepada kita para ‘Alawiyin biar tidak sampek igtirâr (tertipu) dengan nasab, karena dalam ayat tersebut dijelaskan kalau istri Nabi melakukan dosa, maka akan dilipat gandakan, begitu pula jika mengerjakan kebaikan, maka pahalanya juga akan dilipat gandakan.
Ahlulbait antara Ahlusunah dan Syiah?
Kalau tentang siapa ahlulbait, mungkin antara Ahlusunah dan Syiah hampir sama, namun yang menjadi pembeda adalah sikap mereka saja, Syiah itu salah dalam bersikap terhadap ahlulbait. Jusrtu, pada zaman sekarang Syiah itu tidak hormat kepada ahlulbait, yang jadi ketua siyah di Iran, ia sama sekali tidak menghormati ahlulbait, bahkan ia memusuhi mereka. Demikian ini, karena ahlulbait menurut mereka hanya para imam mereka saja, kalau kepada keturunannya, mereka tidak hormat.
Jadi, ahlulbait bagi Syiah hanya untuk kepentingan ideologi saja, hanya sebagai senjata ideologi mereka. Kalau memang mereka menganggap cinta ahlulbait, maka mereka akan takzim seperti kita, dan mestinya yang harus dijadikan prinsip adalah keyakinannya Habib Ali Zainal Abidin; yang mana beliau adalah seorang dzurriyyah yang menebarkan sikap rahmat dan saling mencintai sesama mukmin. Namun, nyatanya kaum Syiah mengusung ideologi kebenciaan. Padahal, Habib Ali Zainal Abidin sendiri ketika menjadi tokoh di Madinah, yang ngaji kepada beliau, banyak dari kalangan anak-anak para pembunuh ayah dan para saudaranya. Kendati demikian, beliau tetap mengajar mereka dengan lapang dada. Ini loh! sikap para ahlulbait, sangat jauh berbeda dengan sikap kaum Syiah yang mengaku cinta ahlulbait, tapi menebarkan kebencian.
Pesan Habib untuk masyarakat Indonesia?
Kita hidup di akhir zaman ini, banyak fitnah-fitnah yang terjadi, apalagi dengan adanya media sosial, sehingga fitnah tersebut bisa tersebar ke berbagai penjuru dunia dengan mudah. Maka dari itu, Jangan ikuti yang nyeleneh (macam-macam), ikutilah para guru dan masyayikh kita. Seperti sekarang yang lagi viral-viralnya masalah nasab Baalawi. Toh, seumpamanya nasab mereka diragukan, tapi ilmu mereka tidak diragukan, wong ulama kita di Nusantara ini sangat takzim kepada Bani ‘Alawy. Ya! kita harus tetap bersikap wasathiyyah (moderat), yang alim kita hormati, yang tidak alim pun tetap kita harus hormati. Kita tetap harus penuhi hak-hak kemanusiaan. Karena semua manusia itu punya hak untuk dihormati, sebagaimana teladan dari baginda Nabi ﷺ. Cuman, cara kita menghormati yang harus kita bedakan sesuai dengan keadaan masing-masing.
A. Sholahuddin Al Ayyubi | Annajahsidogiri.id