Khawarij merupakan salah satu kelompok sempalan yang menyimpang dalam berbagai paham akidah dan fikih. Kelompok ini mulai nampak kepermukaan pada era kekahilafahan Sayidina Ali. Dalam kitab Dirâsatun ‘anil-Firâq fî Târîkhil-Muslimîn karangan Dr. Ahmad Muhammad Ahmad al-Jali mengungkapkan kata “khawarij” untuk sekelompok orang yang melarikan diri dari pasukan Sayidina Ali bin Abi Thalib setelah adanya negosiasi tahkim yang berujung pemindahan kekuasaan khilafah pada Sayidina Muawiyah. Khawarij menganggap orang-orang yang terlibat dalam persoalan tahkim sebagai kafir, bahkan mereka memvonis Sayyidina Ali berdosa besar dan harus segera bertobat, karena kejadian tersebut.
Sebelum itu, secara keseluruhan, pasukan Sayidina Ali disebut khuruj, yang bermakna keluar dari rumah mereka untuk berjihad fi sabilillah, sebagaimana firman Allah:
وَمَنْ يُّهَاجِرْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يَجِدْ فِى الْاَرْضِ مُرٰغَمًا كَثِيْرًا وَّسَعَةً ۗوَمَنْ يَّخْرُجْ مِنْۢ بَيْتِه مُهَاجِرًا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِه ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ اَجْرُه عَلَى اللّٰهِ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S: An-Nisa’: 100)
Ada dua istilah untuk khawarij. Pertama “syarah” karena mereka menyifati dirinya sesuai firman Allah yang berbunyi:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْرِيْ نَفْسَهُ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ وَاللّٰهُ رَءُوْفٌۢ بِالْعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Q.S: Al-Baqarah: 207)
Kedua Khawarij disebut al-Hururiyah karena mereka menempati Desa Hururiyah setelah keluar dari barisan pasukan Sayidina Ali.
Teologi Khawarij
Kelompok ini sangat membela habis-habisan pemikirannya sendiri dengan memahami nas-nas secara kontekstual. Dalam memahami nas mereka tidak memikirkan secara matang. Mencetuskan hukum hanya dengan memahami secara zahir. Mereka beranggapan bahwa hal semacam itu adalah kemurnian Agama. Yang paling populer pendapat nyeleneh mereka adalah menghalalkan darah orang yang berbeda pemahaman dengan mereka, padahal Agama Islam tidak menghalalkan darah seorang mukmin. Sebagaimana bunyi hadis yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud:
لَا يَحْلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبُ الزَانِي، وَالنَفْسُ بِالنَفْسِ، وَالتَارِكُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقِ لِلجَمَاعَة
“Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan salah satu dari tiga perkara; Orang yang sudah menikah yang melakukan zina, jiwa (dibalas) dengan jiwa, dan orang yang meninggalkan Agamanya lagi memisahkan diri dari jamaah.”
Selain itu mereka juga mengkafirkan Sayidina Ali dan Sayidina Usman. Mereka bahkan beranggapan tidak sah jabatan khalifah Sayyidina Usman dan Sayidina Ali. Maka dari itu mereka memvonis kafir padahal ijmak atas keabsahan pemerintahan mereka berdua tetap berlaku sampai keluar ijmak lainnnya.
Abil Muhammad | Annajahsidogiri.id