Moderasi beragama banyak dijadikan kedok untuk mencampuradukkan syariat Islam. Sebagaimana berita yang telah menyebar, ada salah satu tokoh masyarakat yang membangun masjid berdampingan dengan gereja menggunakan dalih moderasi beragama ini. Bagaimana kita menyikapi hal ini? Apakah batasan-batasan yang harus dipenuhi dalam moderasi beragama? Berikut penjelasan dari K.H. Luthfi Bashori Pengasuh Ribath al-Murtadla al-Islam, Singosari, Malang kepada M. Roviul Bada dari Buletin Tauiyah.
Bagaimana pandangan Kiai terkait wacana moderasi beragama yang santer belakangan ini?
Dalam pandangan saya, arti moderasi beragama sama halnya dengan toleransi beragama. Sehingga, jika moderasi beragama yang terjadi sampai mengubah aturan syariat Islam yang telah terbukukan oleh para ulama mazhab, tentu hal demikian tidaklah diperbolehkan.
Dengan demikian, jika realita yang terjadi di Indonesia ini bertentangan dengan syariat Islam, maka harus dicegah. Semisal, membangun masjid berpinggiran dengan geraja, menyertakan non Muslim dalam ibadah shalat sebagai bentuk penghormatan dan semacamnya. Hal ini tentu sudah dikecam dalam syariat Islam.
Mengenai hal ini Allah ﷻ berfirman dalam al-Quran:
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ
“Sungguh, agama yang benar di hadapan Allah adalah Islam.” (QS: Ali Imran: 19)
Ayat ini dijadikan landasan bahwa syariat Islam sudah tidak perlu diubah. Sehingga apabila dalih moderasi beragama ini digunakan untuk mencampuradukkan aturan antar agama, maka tidak diperkenankan. Sebab, hal itu sama halnya dengan mencampuradukkan syariat Islam.
Sejauh mana batasan dalam moderasi beragama?
Sebagaimana yang sudah saya terangkan tadi, bahwa moderasi beragama apabila sampai mencampuradukkan hukum syariat Islam, jelas tidak diperbolehkan. Hal ini pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad ﷺ.
Suatu ketika Nabi diminta oleh kaum munafik untuk berpidato di masjid Dhirâr (masjid yang mereka dirikan). Di lain sisi, mereka juga turut menyertakan pendeta Abu Amir yang datang dari Yaman untuk berpartisipasi di masjid tersebut.
Sebelum Nabi sampai di masjid Dhirâr, Allah ﷻ memerintahkan Nabi untuk tidak mendatangi masjid tersebut. Pada akhirnya, Nabi kemudian memerintahkan para shahabatnya untuk merobohkan bangunan masjid Dhirâr, karena khawatir akan merusak akidah umat Islam bersebab kehadiran sang pendeta di masjid tersebut.
Kisah di atas memberikan kesimpulan bahwa mengundang non-Muslim di masjid sebagai bentuk penghormatan yang tidak lain atas dasar moderasi beragama itu sudah dicegah oleh Nabi pada masa dahulu. Apalagi, jika ada umat Islam yang mendatangi gereja, bahkan berpidato di sana, tentu perilaku yang demikian dapat menimbulkan kehancuran dalam akidah umat Islam.
Apa tanggapan Kiai mengenai Ummatan Wasathan, yang kerap kali dijadikan kedok kebolehan moderasi beragama?
Jika mereka berdalih dengan Ummatan Wasathan, maka hal itu termasuk di antara kalimat yang benar tetapi digunakan pada tempat yang salah. Karena, maksud dari Ummatan Wasathan itu sendiri adalah umat Islam yang tidak ekstrem ke kanan hingga menjadi radikal dan tidak ekstrem ke kiri hingga menjadi liberal. Maka dari itu, moderasi beragama bila berdalih dengan Ummatan Wasathan, tentu tidak berdasar sama sekali.