Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang disingkat dengan HUT RI, atau dalam bahasa sehari-hari kita menyebutnya “Tujuhbelasan” adalah hari memperingati Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia mulai dari yang duduk di tingkatan TK, SD, SMP hingga kalangan pesantren ikut-serta merayakan HUT RI dengan sangat meriah, mulai dari Upacara bendera hingga berbagai macam perlombaan masyarakat seperti lomba tarik tambang, lari maraton, panjat pinang, lomba makan kerupuk, dll. Lantas bagaimana hukum perayaan tersebut dalam perspektif islam?
Perlu dipahami bahwa perayaan hari kemerdekaan merupakan sebuah “tradisi” yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia setiap tanggal 17 Agustus. Tentang tradisi sendiri, Islam tidak pernah melarang tardisi apapun yang dilakukan oleh penganutnya, asalkan tidak terdapat unsur-unsur yang dilarang syariat. dalam sebuah Kaidah Fikih disebutkan:
اْلأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى التحْرِيْمِ
“Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang menunjukkan ketidak bolehannya.”
Dalam membahas seputar tradisi, Abuya Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitabnya, Mafâhîm Yajibu an Tusahhah, berkata:
“Kita sudah terbiasa meraykan sejumlah momen-momen bersejrah seperti maulid Nabi, dll. Hal ini merupakan suatu tradisi yang tidak ada kaitannya dengan Agama. Oleh karena itu, tidak bisa dikatakan syariah atau sunah. Sebab yang bahaya (bid’ah) ialah mengatakan disyariatkankannya sesuatu yang tidak disyariatkan. Menurutku hal-hal yang berbau tradisi itu (hukumnya) tidak lebih dari sekadar disenangi atau dibenci oleh Syari’ (Allah) dan saya kira ini sudah menjadi kosensusus ulama.”
Dari pemaparan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa merayakan HUT RI itu diperbolehkan oleh Islam, selagi tidak menyalahi aturan syariat. Sebab, perayaan tersebut hanyalah sebuah tradisi, bukanlah suatu ibadah, sebagaimana disebutkan barusan. Ditambah lagi, perayaan tersebut diadakan dalam rangka mengigat jasa para pahlawan yang telah gugur di medan perang seraya menyukuri nikmat merdeka yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada bangsa Indonesia. Mengungkapkan rasa bahagia, bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah merupakan tradisi yang sudah mengakar kuat sejak era sahabat Rasulullah ﷺ. Dalam sebuah hadis disebutkan:
عَنِ ابْنِ عَبَاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ لَمَّا قَدمَ النَبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِيْنَةَ وَجَدَ اليَهُوْدَ يَصُوْمُوْنَ عَاشُوْرَاء فَسَئَلُوْا عَنْ ذَلكَ فَقَالُوْا هَذاَ اليَوْم الذِيْ أَظْفَرَ اللهُ فِيْهِ مُوْسَى وَبَنِيْ إِسْرَائيْل عَلَى فِرْعَوْن وَنَحْنُ نَصُوْمُهُ شُكْرًا لِلهِ تَعَالَى فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْنُ أَوْلَى بِمُوْسَى مِنْكُمْ ثُمَّ أَمَرَ بِصَوْمِهِ
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Pada masa Rasulullah baru hijrah ke Madinah, orang-orang Yahudi berpuasa Asyura. Lalu mereka ditanyakan perihal puasa mereka itu. Mereka menjawab, ‘ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil dari Firaun dan kita berpuasa karna mensyukuri nikmat Allah.’ Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Kita lebih berhak terhadap Nabi Musa dari pada kalian.’ Maka Rasul menyuruh untuk berpuasa Asyura.”
Mengenai hadis di atas, Imam Suyuti dalam kitab Fatâwî-nya berkata:
فَيُسْتَفَادُ منْهُ فِعْلُ الشُكْر لِلهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِيْ يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إِسْدَاءِ نِعْمَةٍ اَوْ دَفْعِ نِقْمَةِ وَيُعَادُ ذَلِكَ فِيْ نَظيْرِ ذَلِكَ اليَوْمِ مِنْ كُلِّ سَنَةٍ
“Dari uraian hadis di atas dapat disimpulkan (bolehnya) mensyukuri pemberian nikmat maupun penimpaan malapetaka dihari-hari tertentu, serta hal tersebut bisa diulangi pada hari yang sama di setiap tahun.[1]”
Dalam al-Qur’an Allah menganjurkan para hambanya untuk mengigat seraya mensyukuri nikmat yang telah dianugerahkan. Sebagaimana ayat 06-07 surah Ibrahim:
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ أَنجَاكُم مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ وَيُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ ۚ وَفِي ذَٰلِكُم بَلَاءٌ مِّن رَّبِّكُمْ عَظِيمٌ (6) وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ (7)
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia menyelamatkan kamu dari (Firaun dan) pengikut-pengikutnya, mereka menyiksa kamu dengan siksa yang pedih, mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu, membiarkan hidup anak-anak perempuanmu; dan pada yang demikian itu ada cobaan yang besar dari Tuhanmu(6) Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Dalam ayat tersebut Allah memerintah Nabi Muhammad untuk mengigat Nabi Musa tatkala mengingatkan kaumnya akan nikmat-nikmat yang telah dikaruniakan-Nya kepada mereka ketika Allah menyelamatkan mereka dari Firaun dan para pengikutnya dari siksaan serta penghinaan mereka[2]. Yang tidak lain agar nikmat tersebut disyukuri. Dalam ayat kelanjutannya Allah berjanji akan melimpahkan nikmat yang Ia anugerahkan jika disyukuri, sebaliknya Allah mewanti-wanti hambanya akan siksa yang pedih jika mengkufuri nikmat-Nya.
Bukankah kemerdekaan Negeri ini dari penjajahan adalah bentuk nikmat dari Allah yang layak kita syukuri. Dengan kemerdekaan, siapa pun bisa beribadah dengan mudah, mencari ilmu dengan gampang, silaturahim tanpa rasa khawatir adanya tekanan, bekerja dengan mudah dan beraktivitas secara leluasa. Dengan kemerdekaan pula, segala tindakan yang tidak berperikemanusiaan terhapus dengan sendirinya.
Dalam kitab Syarhu al-Yaqûti an-Nafîs, Habib Muhammad bin Ahmad as-Syathiri berkata:
“Di sana ada perayaan lain yang disebut dengan perayaan kenegaraan dan kebangsaan. Tidak seharusnya seorang mengatakan, ‘Apa hubungan kita dan perayaan-perayaan tersebut?’ Sebab perayaan tersebut merupakan simbol dari suatu bangsa yang menjadi medium untuk kemuliaan Agama Islam, merdekannya bangsa tersebut dari penjajah, serta bisa melakukan suatu kebaikan-kebaikan secara umum, seperti yang disebut dengan perayaan hari kemerdekaan … Semoga Allah senantiasa mengulangi anugerahnya kepada kita.[3]”
Namun yang perlu jadi catatan adalah, kita harus mengisi perayaan tersebut dengan hal-hal yang positif, seperti, mengadakan tahlil bersama, ceramah Agama serta nasihat-nasihat bagi kaula muda agar memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
A. Sholahuddin Alayyubi | Annajahsidogiri.id
[1] Hawasi as-Sarwani wa Ibnu Ubbadi
[2] Tafsir at-Thabari
[3] Syarhu al-Yaquti an-Nafis (hlm. 176)