Ada tiga pendapat mengenai terutusnya nabi ke muka bumi. Pertama, Pendapat Ahlusunah; tertutusnya nabi ke dunia hukumnya munkin (jaiz) (1). Kedua, Pendapat Muktazilah; terutusnya nabi ke dunia wajib. Ketiga, Pendapat Barahimah; terutusnya nabi ke dunia mustahil. Ahlusunah memilki pandangan yang paling moderat. Tidak mewajibkan, juga tidak memustahilkan. Karena bagaimana pun berdasarkan dalil naqli dan akli, Allah tidak wajib melakukan apapun. Semuanya jaiz bagi Allah untuk melakukannya.
Baca Juga: Pandangan dan Kritik Terhadap Muktazilah & Pandangan dan Kritik Terhadap Barahimah
Dengan demikian, jika ada yang mewajibkan atau memustahilkan sesuatu pada Allah berarti dia telah memasung Allah karena memabatasi-Nya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukannya. Muktazilah sebagai mahkluk, memasung tuhan mereka sendiri sebagai khaliq dengan mewajibkan melakukan yang baik dan terbaik secara umum, serta mengutus para nabi secara khusus. Barahimah yang posisi kemakhlukannya sama dengan Muktazilah (dan makhluk lain), juga memasung Allah untuk tidak mengutus nabi dan seenaknya mau menggunakan akal. Mereka sama sekali tidak demokratis pada tuhan mereka sendiri. Andai pendapat mereka kemudian ditranskip dalam bentuk tulisan dialogis mungkin jadi begini, “Ya Allah, engkau harus mengutus kepada kami seorang nabi. Karena tanpanya, kehidupan manusia akan terkatung-katung. Selain itu, engkau juga harus berbuat baik atau yang terbaki pada kami. Pokoknya harus!” atau “Ya Allah, akal kami sudah sangat cukup untuk menuntun kami. Kami tidak butuh nabi!”.(2)
Pendapat Muktazilah dan Barahimah ini jelas bertentangan dengan naql dan akal sehat kita. Semoga Allah selalu menjaga kita dari ideologi-ideologi sesat diluar Ahlusunah wal Jamaah. Ihdina-sirath al-mustaqim. Wallahu a’lam.
Badruttamam/Annajahsidogiri.id
[1] Meki memang kenyataanya, terutusnya nabi itu sudah terjadi. Di sini fokus permasalahhnya melihat dari sudut mungkin tidaknya secara akal.
[2] Imam ad-Dardirî bersenandung:
وَمَنْ يَقُلْ فِعْلُ الصَّلاَحِ وَجَبَ ۞ عَلَى الْإِلَهِ قَدْ أَسَاءَ الْأَدَباَ
“Siapapun yang mewajibkan Allah untuk melakukan sesuatu, berarti dia telah su’ul-adab kepada Allah”. Catatan kaki Syarhu ash-Shâwi Alâ Jauharah at-Tauhîd, hal. 276, Dar Ibnu Kastir.