Nama Barahimah Bagi kelompok yang dinisbatkan pada Brahma ini, terutusnya para nabi adalah doktrin lucu dan mustahil. Akal bagi mereka adalah kekuatan besar yang dengannya sudah sangat cukup menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Apapun, jika hal itu baik menurut akal, maka siapapun bisa melakukannya meski tak ada satu pun nabi yang mengatakannya. Sebaliknya, jika hal itu buruk menurut akal, siapa pun berhak meninggalkannya. Apabila akal tidak bisa menentukan hal itu baik atau buruk, maka terserah orangnya; jika dia merasa butuh untuk melakukannya, lakukan saja. Begitu pula sebaliknya. Lagi pula, apapun yang dibawa oleh nabi itu tidak lepas dari dua hal; hal-hal logis dan yang tidak logis. Jika yang dibawa itu adalah hal yang logis, akal sudah sangat cukup mem-back up-nya. Jika tidak, maka tak usah diterima. Karena menerima sesuatu yang tak logis sudah keluar dari kodrat kemanusiaan. Ketika sudah jelas demikian, mereka kemudian menanyakan, “Masihkah kita butuh pada para nabi?”.
Baca Juga: Terutusnya Nabi Ke Muka Bumi (1/4)
Kritik Untuk Barahimah
Akal saja tidak cukup untuk membuat seseorang selamat di akhirat. Kita butuh pada nabi agar bisa memberikan informasi tentang apapun yang terjadi seelah kematian datang, seperti hasyr, nasyr, pahala, siksaan, dan kekal di neraka atau surga. Karena hal-hal tersebut tidak mungkin diketahui oleh seseorang murni dari akalnya sendiri. Harus ada seseorang yang sudah diberi “legalitas” oleh Allah dan menjadi informan-Nya untuk menjelaskan hal-hal tentang alam akhirat dan bagaimana sebisa mungkin selamat dari api neraka. Seperti halnya manusia tidak bisa menentukan sendiri obat yang cocok untuk penyakit tertentu yang sedang menghinggapinya, manusia juga tidak bisa seenaknya menentukan dengan akalnya, apa yang menjadi ridha tuhannya hingga bisa selamat dari api neraka. Butuhnya manusia pada nabi seperti butuhnya mereka pada seorang dokter.
Lagi pula, akal manusia berbeda-beda. Ada yang liar, radikal, dan moderat. Ada akal orang awam, ada akal orang yang cukup berpengetahuan. Ada akal pelajar, ada akal non-pelajar. Pelajar juga ada tingkatannya. Pelajar SD, SMP, SMA, Santri, Dosen, Mahasiswa, dll. Seiring dengan perkembangan zaman, jarang antara satu manusia di zaman tertentu memiliki kesimpulan yang sama dengan manusia lain di zaman yang lain. Tidak akan pernah ada kesimpulan yang benar-benar sama jika hanya menggunakan akal.
Meski yang dibahas masalahnya sama, tapi kadang –kalau tidak mau dikatakan kebanyakan– pandangan si A dan si B berbeda. Masalahnya sama, alat pengukurnya sama, akal. Namun kesimpulannya berbeda. Lalu akal mana yang mau dijadikan patokan bahwa hal itu logis dan tidak logis?.
Bagi manusia yang hidup satu abad yang lalu, mungkin akan menganggap semua kemajuan teknologi yang kita rasakan sekarang, seperti Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) , Smartphone, Helikopter, Pesawat, Jaringan 5G, sebagai hal yang mustahil dan tidak logis. Bagi manusia Barat, mungkin hubungan sesama jenis adalah hal yang logis dan tidak bertentangan dengan akal sehat. Yang menolak justru yang dianggap sebagai manusia kolot. Bagi orang Ateis “secerdas” Fisikawan Stephen Hawking, yang paling masuk akal baginya adalah tidak ada tuhan. Dia menggunakan kecerdasan dia sendiri dan ilmu pengetahuan untuk menggambarkan bagaimana terciptanya dunia. “Sebelum kita memahami ilmu pengetahuan, wajar saja untuk percaya Tuhan menciptakan alam semesta. Namun saat ini, ilmu pengetahuan menawarkan penjelasan yang lebih meyakinkan. Yang saya maksud soal ‘kita akan tahu isi pikiran Tuhan’ adalah kita bisa mengetahui semua yang Tuhan ketahui, apabila ada Tuhan. Yang sebenarnya (Tuhan) tidak ada. Saya adalah seorang ateis” kata dia saat ditanya oleh salah satu majalah Spanyol, El Mundo.
Karena perbedaan penilaian akal itulah, syariat yang dibawa oleh nabi akan menjadi patokan. Baik itu masuk akal atau tidak menurut manusia (yang akalnya sangat terbatas).
Badruttamam/Annajahsidogiri.id