Pernah beberapa kali Nabi meninggalkan suatu perkara, tetapi beliau tidak memberikan kejelasan hukum dari hal tersebut. Hal itu menunjukkan perkara yang ditinggalkan nabi r masih butuh dikaji lagi. Kita tidak boleh langsung menghukumi makruh apalagi mengatakan haram. Sebab, suatu perkara bisa dihukumi haram apabila terdapat nash qath’i dari al-Quran dan hadis shahih. Contoh ayat:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Baqarah[2]:173)
BACA: Bid’ah Hasanah dari Masa ke Masa
Teks dari ayat ini jelas mengatakan haramnya bangkai, darah dan daging babi. Rasulullah r ketika meninggalkan suatu perkara pasti ada sebabnya, tidak moro-moro meninggalkan tanpa sebab. Misalkan hadis dari ibnu Abbas
Hadis
، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ ، دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَيْتَ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوذٍ ، فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدِهِ ، فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ اللاتِي فِي بَيْتِ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : أَخْبِرُوا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِمَا يُرِيدُ أَنْ يَأْكُلَ ؟ فَقَالُوا : هُوَ ضَبٌّ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَرَفَعَ يَدَهُ ، فَقُلْتُ : أَحَرَامٌ هُوَ ؟ فَقَالَ : لاَ ، وَلَكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي ، فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ قَالَ : فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ ، وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَنْظُرُ قَالَ يُونُسُ فِي الْحَدِيثِ.
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, dari Khalid bin Walid bahwasanya ia pernah bersama Rasulullah r masuk ke rumah Maimunah. Kemudian dibawakan kepada Rasulullah saw daging dhab panggang. Rasulullah saw sempat melayangkan tangannya ke arah daging tersebut. Setelah itu sebagian kaum perempuan berkata, “Beri tahu Rasulullah atas apa yang akan dimakannya.” Lalu para sahabat berujar, “Wahai Rasulullah, itu adalah daging dhab.” Rasulullah saw pun lantas mengangkat tangannya. Aku (Khalid) kemudian bertanya, “Apakah daging ini haram wahai Rasulullah?” Rasulullah saw bersabda, “Tidak, akan tetapi hewan ini tidak ada di tanah kaumku dan aku memperbolehkannya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini dengan jelas menyebutkan nabi meninggalkan memakan kadal uromastyx (ad-dabb) bukan tanpa alasan, beliau meninggalkan hal ini (tidak makan) karena Madinah bukan habitat kadal ekor berduri ini. Hal ini menafikan pekerjaan tersebut berhukum haram. Seandainya kadal Mesir ini haram, sudah barang pasti mengingatkan akan keharamannya. Tidak mungkin beliau membiarkan perkara haram dimakan oleh sahabatnya.
BACA: Celoteh Para Anti Maulid (1)
Memang, semua perkara yang diperintah oleh nabi r wajib kita lakukan sedangkan yang dilarang harus kita jauhi yang sudah tertera dalam al-Quran:
Ayat
مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
(QS. Al-Hasyr[59]: 7)
Kesimpulan Ayat
Para ulama menyimpulkan bahwa ayat ini menunjukkan wajibnya perintah dari nabi r. sedangkan larangannya menunjukkan haram. Akan tetapi tidak satu pun ulama mengatakan tarkun nabi itu haram. Suatu yang ditinggalkan dan tidak dikerjakan oleh Nabi r adakalanya tetap pada asal kebolehannya yaitu mubah, adakalanya masuk pada keumuman dalil syar’i yakni perkara baru, tidak ada yang bid’ah muharromah kecuali ada tuntunan syara’.
Kesimpulannya, pekerjaan yang ditinggalkan nabi tidak serta merta dihukumi haram. Kita harus mengkaji lagi mengapa nabi SAW meninggalkannya. Apa penyebabnya? Andaikan kita mengharamkan setiap apa yang ditinggalkan Nabi r niscaya hari-hari kita diisi dengan melakukan keharaman, baik kebiasaan maupun ibadah. Doktor Umar Abdullah Kamil dalam al-Inshof (hal: 138) mengatakan bahwa orang-orang yang mengatakan tarkun-Nabi haram itu salah, mengapa? Karena andaikan mereka intropeksi diri niscaya mereka menemukan banyak parkara yang nabi meninggalkan perkara itu, tetapi beliau tidak mengharamkan. hanya saja mereka tidak menyadari.
M Nuril Ashabil Luthfi | Annajahsidogiri.id