Mengingat kembali pertanyaan pada artikel part satu, apakah yang harus kita lakukan saat ini, si balik pro-kontra khilafah? Berusaha tetap menegakkan khilafah ataukah tetap mempertahankan sistem republik?
Ada beberapa hal yang harus diketahui untuk menjawab pertanyaan di atas. Pertama, pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan yang sah dan termasuk waliyul-amri adlh-dlharûrî bisy-syaukah, sehingga haram bagi semua pihak untuk memberontak kepada pemerintah yang sah sekalipun fasik atau zalim (selagi tidak memerintah kemaksiatan). Maka siapapun yang hendak memecah belah kesatuan Indonesia maka dia berhak untuk diperangi.
Kedua, mempertahankan NKRI adalah cara yang paling maslahah untuk hidup beragama, berbangsa dan bernegara di bumi pertiwi ini. Dengan menghindari fitnah berupa perang saudara, pertikaian antar pemeluk agama, dan lain-lain. Hidup damai dan tenteram serta dapat leluasa menjalankan kehidupan sehari-hari yang Islami dan ibadah dengan sempurna.
Maka mempertahankan NKRI hukumnya wajib dengan mempertimbangkan dua hal di atas. Hal ini senada dengan resolusi jihad 22 Oktober 1945: Mempertahankan dan menegakkan NKRI menurut hukum Agama adalah wajib dan termasuk kewajiban bagi setiap Muslim dan jihad fî sabîlillah.
Pancasila
Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi asas bangsa Indonesia. Pancasila dirancang sebagai ideologi pemersatu sehingga substansinya harus mampu mengakomodasi seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, etnik, dan lain-lain. Sebagian oknum beranggapan bahwa menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti mendepak atau melemparkan iman, dan menerima asas tunggal Pancasila berarti kafir, sedang kalau menerima keduanya berarti musyrik.
Kiai Achmad Siddiq Rais Aam PBNU periode 1984-1991 memandang bahwa cara pandang dan berfikir seperti ini keliru. Lalu beliau menegaskan kepada seluruh masyarakat bahwa Islam yang dicantumkan sebagai asas dasar itu adalah Islam dalam arti ideologi, bukan Islam dalam arti agama. Langkah ini bukan berarti menafikan Islam sebagai agama, tetapi mengontekstualisasikan Islam yang berperan bukan hanya jalan hidup, tetapi juga sebuah ilmu pengetahuan dan pemikiran yang tidak lekang seiring perubahan zaman. Ideologi adalah ciptaan manusia. Orang Islam boleh berideologi apa saja asal tidak bertentangan dengan Islam.
Dengan sederhana, dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan asas kaum beragama di Indonesia dalam merajut kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sini, prinsip agama tidak bisa dilepaskan dari substansi yang terkandung dalam Pancasila. Namun, jika ada kelompok-kelompok kecil Islam yang menolak Pancasila, maka itu bukan karena agama dasar mereka, tetapi mereka hendak menjadikan Islam sebagai ideologi politik untuk meraih kekuasaan.
Melalui pembicaraan yang intensif antara K.H. A‘sad Syamsul Arifin dan juga K.H. Ahmad Siddiq dengan Presiden Soeharto bahwa Pancasila tidak akan menggeser agama dan agama tidak akan dipancasilakan, maka NU mau menerima Pancasila sebagai asas organisai, tanpa harus meninggalkan Ahlusunah walJamaah sebagai dasar akidahnya. Kemudian penerimaan itu dirumuskan dalam sebuah piagam yang sangat komprehensif dan konklusif dalam sebuah deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam. Deklarasi penting itu kemudian dirumuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada tahun 1983.
Berikut bunyi lengkap deklarasi tersebut:
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.
4. Penerima dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Karena yang terkandung dalam Pancasila, hakikatnya adalah tauhid, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Bahkan dalam Pancasila sendiri mengandung nilai-nilai Islam seperti menjunjung tinggi kemanusiaan. Wallahu A’lam.
FK Sejarah | Annajahsidogiri.id