Menyalahi pendapat mayoritas ulama bukanlah hal yang baru dalam kelompok Hizbut-Tahrir, termasuk dalam permasalahan azab kubur. Pasalnya, Menurut mereka azab kubur itu tidak ada, karena penetapannya hanya berdasarkan hadis ahad (hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu individu rawi) sehingga mereka menolaknya. Lantas, apakah benar cara Hizbut-Tahrir dalam memahami dalil azab kubur? Berikut ulasannya:
Refrensi Hizbut-Tahrir tentang Azab Kubur
Salah satu kitab yang menjadi rujukan Hizbut-Tahrir, terutama yang ada di Indonesia adalah kitab Hizbut-Tahrîr Fikratuhu wa Tharîqatuhu wa Sairuhu. Di dalamnya tercantum:
وَمِمَّا جَاءَ فِي نَشْرَةٍ مِنْ الدَّوْسِيَّةِ الْإِدَارِيَّةِ أَنَّ جَمِيعَ شَبَابِ الْحِزْبِ مُلْزَمُونَ بِتَبَنِّي جَمِيعِ مَا تَبَنَّاهُ الْحِزْبُ وَعَدَمِ مُخَالَفَتِهِ ، وَيَنْطَبِقُ هَذَا عَلَى الْأَمِيرِ وَالْمُعْتَمَدِ
“Apa yang diperintahkan oleh pimpinan wilayah bahwa seluruh anggota Hizbut-Tahrir wajib untuk menerima segala sesuatu yang diambil oleh pimpinan, serta wajib mematuhinya dan tidak menentangnya.”[1]
Kekompakan Hizbut-Tahrir yang taat terhadap perintah pimpinan mereka telah menyalahi ajaran akidah yang telah diyakini oleh mayoritas ulama, yakni tentang eksistensi dan kebenaran siksa kubur.
Yang menjadi masalah ialah mereka menegaskan bahwa azab kubur tidak memiliki dalil konkret. Sebagaimana penjelasan mereka dalam tulisan di salah satu website-nya:
فَقَدْ اعْتَبَرَ مُؤَسِّسُ حِزْبِ التَّحْرِيرِ أَدِلَّةَ ثُبُوتِ عَذَابِ الْقَبْرِ أَدِلَّةً ظَنِّيَّةَ الثُّبُوتِ، مِنْ الظَّنِّ الْمَنْهِيِّ عَنْ اتِّبَاعِهِ! وَيَحْرُمُ عِنْدَهُ اعْتِقَادُ مَدْلُولِ هَذِهِ الْأَدِلَّةِ الظَّنِّيَّةِ، لَكِنْ يَجُوزُ تَصْدِيقُهُ، هَكَذَا قَرَّرَ ذَلِكَ فِي كِتَابِ الدَّوْسِيَّةِ ، فَقَالَ: يَجِبُ أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ الْحَرَامَ هُوَ الِاعْتِقَادُ وَلَيْسَ مُجَرَّدَ التَّصْدِيقِ، فَالتَّصْدِيقُ لَا شَيْءَ فِيهِ، وَهُوَ مُبَاحٌ، وَلَكِنَّ الْجَزْمَ هُوَ الْحَرَامُ، لِأَنَّهُ جَزْمٌ مَبْنِيٌّ عَلَى ظَنٍّ، وَلِذَمِّ اللَّهُ لِمَنْ بَنَى عَقِيدَتَهُ عَلَى الظَّنِّ،، إِلَّا أَنَّ عَدَمَ الِاعْتِقَادِ لَا يَعْنِي الْإِنْكَارَ، وَإِنَّمَا يَعْنِي فَقَطْ عَدَمَ الْجَزْمِ. اهْ.
“Pimpinan Hizbut-Tahrir mengklaim bahwa dalil azab Kubur hanya sebatas dzan saja (dalil perkiraan bukan dalil hukum). Mengikuti dalil yang sebatas dzan adalah terlarang. Maka, mereka meyakini bahwa dalil siksa kubur itu hukumnya haram, namun masih diperbolehkan membenarkannya. Ini adalah keterangan yang telah ditetapkan dalam kitab ad-dussiyah. Perlu diketahui, hukum haram yang dimaksud disini adalah ketika menjadikan azab kubur sebagai keyakinan, namun jika hanya membenarkan adanya azab kubur maka hal ini boleh-boleh saja.”[2]
Hizbut-Tahrir Selalu Konsisten Pada Kesesatannya
Kitab ad-Dussiyah tersebut dengan jelas memaparkan bahwa pemimpin Hizbut-Tahrir mengharamkan anggotanya untuk menjadikan hadis ahad atau hadis yang statusnya masih praduga mengenai azab kubur sebagai keyakinan. Mereka menolak kebenaran azab kubur yang diyakini oleh kebanyakan ulama Ahlusunah wal-Jamaah karena dalilnya berupa Hadis ahad.
Kebiasaan mereka dalam menolak hadis ahad ini sudah dimulai sejak Taqiyudin An-Nabhani, ketika ia menolak riwayat jumlah para nabi dan rasul. An-Nabhani menulis dalam kitab asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (1/129):
وَلَكِنَّ الْأَحَادِيثَ الْوَارِدَةَ فِي بَيَانِ عَدَدِ الْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ خَبَرُ آحَادٍ لَا قِيمَةَ لَهَا فِي الْعَقِيدَةِ، فَإِنَّ خَبَرَ الْآحَادِ عَلَى تَقْدِيرِ اشْتِمَالِهِ عَلَى جَمِيعِ الشَّرَائِطِ الْمَذْكُورَةِ فِي أُصُولِ الْفِقْهِ، لَا يُفِيدُ إِلَّا الظَّنَّ، وَلَا عِبْرَةَ بِالظَّنِّ فِي بَابِ الِاعْتِقَادَاتِ. وَلِذَلِكَ يَقْتَصِرُ عَلَى مَا وَرَدَ مِنْهُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ لِأَنَّهُ قَطْعِيٌّ، وَلَمْ يَرَوْا أَنَّهُ وَرَدَ عَنْهُمْ عَدَدٌ فِي الْحَدِيثِ الْمُتَوَاتِرِ)
“Namun, hadis-hadis yang menyebutkan jumlah nabi dan rasul hanyalah berita tunggal (ahad) yang tidak memiliki nilai dalam ‘Aqidah. Karena berita tunggal hanya berdasarkan perkiraan yang mencakup semua syarat yang disebutkan dalam Ushul Fiqih, tidak memberikan kepastian, dan tidak memiliki pengaruh dalam bab keyakinan. Oleh karena itu, hanya terbatas pada apa yang disebutkan tentang mereka dalam Al-Qur’an yang merupakan kepastian, dan mereka tidak menyebutkan jumlah dalam hadits mutawatir.“[3]
Pandangan an-Nabhani di atas tak bisa serta-merta kita jadikan patokan. Apalagi menyalahi pendapat mayoritas akan hal ini.
Syekh Abdurrauf Al-munawi telah menegaskan dalam kitabnya Faidul-Qadir (hlm. 397) mengenai dalil tentang adanya siksa kubur:
وَقَدْ تَظَاهَرَتْ الدَّلَائِلُ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ عَلَى ثُبُوتِ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَجْمَعَ عَلَيْهِ أَهْلُ السُّنَّةِ وَصَحَّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَهُ بَلْ سَمِعَهُ آحَادٌ مِنَ النَّاسِ قَالَ الدَّمَامِينِيُّ رَحمَهُ اللَّهُ: وَقَدْ كَثُرَتْ الْأَحَادِيثُ فِيهِ حَتَّى قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ إِنَّهَا مُتَوَاتِرَةٌ لَا يَصِحُّ عَلَيْهَا التَّوَاطُؤُ وَإِنْ لَمْ يَصِحَّ مِثْلُهَا لَمْ يَصِحَّ شَيْءٌ مِنْ أَمْرِ الدِّينِ
“Sudah jelas bukti-bukti dari Al-Qur’an dan hadis yang menunjukkan adanya siksa kubur dan hal ini sudah menjadi kesepakatan Ahlusunah wal-Jamaah. Pun, terdapat keterangan bahwa Nabi Muhammad mendengar tentang hal ini, dan beberapa orang juga mendengarnya. Imam Al-Damamini (semoga Allah merahmatinya) berkata: “Sudah banyak hadis mengenai hal ini (siksa kubur). Bahkan banyak (ulama) yang menyebutkan bahwa riwayat-riwayat tersebut mutawatir (diterima secara luas dan bersamaan), dan jika riwayat semacam ini tidak sahih, maka tidak ada yang sahih dari urusan agama.”
M. Aghits Amta Maula | Annajahsidogiri.id
[1]Hizbut–Tahrîr Firqatuhu wa Tharîqatuhu wa Sairuhu, hlm. 23
[2] Keterangan lebih lengkapnya bisa dilihat di dalam salah satu website Hizbut-Tahrir: https://www.hizb-uttahrir.info/ar/index.php/sporadic-sections/articles/cultural/28011.html
[3] Taqiyudin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz I hlm. 129
[4] Imam Ibnu Hazm, al-Ihkâm fî Ushûlil-Ahkâm, juz 1 hlm. 108.
[5] Imam Ibnu Abdil Bar, Tamhid, juz 1 hlm. 192. (ini ulama yang diklaim oleh wahabi sebagai ulama` panutannya, beliau itu bermadzhab malikiyah bukan ulama wahabi)
[6] Syekh Abdurrahim As-Sulamiy, Syarhul-Aqîdah al-Wâsithiyyah, juz 12 hlm. 10.