Tema ini memang sedikit usang, tapi tidak pernah lekang. Pertikaian antar sekte sepertinya tidak akan mencapai titik damai, mungkin hingga kiamat menjelang. Kian hari pertarungan kian memanas, sengit, dan beraroma ganas. Ratusan korban jiwa dan triliyunan harta tumpah ruah mewarnai perbedaan. Idealisme dan ideologi menjadi pangkal permusuhan. Demi memuluskan visi dan misi, taktik kotor dimainkan. Musuh dirangkul, kawan dipukul.
Dengan bangga setiap kelompok memproklamirkan diri, menjajakan identitas pribadi. Mengklaim sebagai pemegang kebenaran tunggal, dan pemberantas kesesatan-kesesatan janggal. Sejatinya, trofi yang diperebutkan memang prestetius. Jaminan masuk surga. Rasulullah bersabda yang artinya, “Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Satu golongan selamat dan sisanya celaka.” (H.R ).
Dari sinilah kemudian pergolatan akbar menyeruak ke permukaan. Memperebutkan satu titlel kebanggaan. Muncul Syiah, Khawarij, Muktazilah, Qodariyah, Jabariyah, Bathiniyah, Wahabi, Liberal, Asyairah, Maturidiyah, dan para pemain lain dalam perhelatan besar perang ideologi. Pertanyaannya sekarang , siapakah sebetulnya yang layak menyandang gelar penghormatan firqah an-najiyah?
Kriteria Golongan Selamat
Teks Hadis di atas tidak menyebut nama golongan tertentu sebagai kelompok selamat dari siksa neraka. Sehingga, sulit memastikan golongan yang sebetulnya dikehendaki Baginda. Akan tetapi, di banyak kesempatan, Baginda menyertakan indikasi dan ciri-ciri golongan selamat. Di antaranya dalam Hadis riwayat Ibnu Majah berikut. Beliau bersabda yang artinya, “Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Satu masuk surga dan tujuh puluh masuk neraka. Umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. 71 masuk neraka dan satu masuk surga. Dan demi Dzat yang jiwa Muhammad dalam genggamannya, umatku akan betul-betul terpecah menjadi 73 golongan. Satu masuk surga dan 72 masuk neraka. Baginda ditanya, “Siapa mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka ialah al-Jamaah.” (H.R. Ibnu Majah)1 Tidak hanya Ibnu Majah, Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, dan ath-Thabrani juga meriwayatkan Hadis senada, meski tidak 100 % sama, dalam kitab mereka.2
Selain mengikuti mainstream mayoritas, firqah an-najiyah juga pengikut setia ajaran Nabi Muhammad dan para shahabat. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Akan menimpa umatku apa yang menimpa Bani Israil setapak demi setapak. Sehingga, jika ada di antara mereka orang yang menzinahi ibunya secara terang-terangan, maka di umatku akan ada yang melakukan hal itu. Dan, sesungguhnya umat Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat.” Para shahabat bertanya, “Siapakah satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Golongan yang mengikuti ajaranku dan shahabatku.” (H.R. Tirmidzi).
Baca juga: Trilogi Tauhid Salafi Wahabi
Asyairah Firqah an-Najiyah?
Firah an-najiyah dalam Hadis diterjamahkan pada kelompok Ahlussunah wal Jamaah. Secara historis, tiada data valid tentang awal kemunculan istilah ini. Namun, disinyalir nama ini telah muncul sejak era tabi’in. Adalah Ibnu Abbas yang mencetuskan istilah ini kala menafsiri ayat 106 surah Ali Imran. Beliau berkata, “Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlussunah wal-Jamaah, sedangkan orang yang hitam wajahnya adalah ahli bidah dan sesat.”3
Sepanjang sejarah, hanya dua kubu yang mendeklarasikan diri sebagai Ahlussunah wal Jamaah. Mereka adalah pengikut Abul Hasal al-Asy’ari (Asyairah) dan pengikut Ibnu Taimiyah al-Harrari (Wahabi).4 Kemunculan dua golongan ini terpaut jarak yang sangat jauh. Asyairah pada abad ketiga Hijriyah dan Wahabi pada abad 18 Masehi.5 Pada masa imam al-Asy’ari, juga lahir dua tokoh ideolog yang memiliki manhaj sepertinya, yaitu imam al-Maturidi dan imam at-Tanthawi. Hanya saja, pengikut imam at-Tanthawi tidak mengkodifikasi pemikiran beliau, hingga hilang ditelan bumi.
Menurut mayoritas ulama, pengikut Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi adalah kelompok Ahlussunah wal Jamaah. Adagium “Kala menyebut kelompok Ahlussunah, maka yang dikehendaki adalah pengikut al-Asy’ari dan al-Maturidi” lahir di kalangan mereka.6 Pertanyaannya sekarang, betulkah pengikut al-Asy’ari dan al-Maturidi firqah an-najiyah yang disabdakan Nabi di kesempatan berbeda dengan al-Jamaah?
Menilik dua kriteria besar kelompok selamat, Asyairah layak disematkan sebagai Ahlussunah. Para pakar Hadis dan fikih berduyun mengikuti manhaj ideologi yang dirumuskan al-Asy’ari. Sejarah mencatat, hampir seluruh dimensi keilmuan dikuasai para pengikut imam al-Asy’ari. Hingga dapat dipastikan bahwa pengikut al-Asy’ari adalah al-Jamaah (kelompok mayoritas). Ditambah, ajaran Imam al-Asy’ari tidak ada yang bersebrangan dengan aturan Nabi dan shahabat. Dengan artian, ajaran al-Asy’ari adalah ajaran Nabi Muhammad dan para shahabat.
Baca juga: Koreksi Terhadap Ajaran Akidah Wahabi
Membuka Topeng Wahabi
Bila pengikut al-Asy’ari dan al-Maturidi golongan Ahlussunah, lalu bagaimana dengan klaim Wahabi bahwa mereka juga Ahlussunah? Mungkinkah Ahlussunah dimiliki dua kelompok berorientasi pemikiran bertolak belakang?.
Paham Wahabi lekas meluas dan dikenal khalayak umum berkat kecerdikan sang pendiri, Abdul Wahab. Ia menggandeng pemerintahan Arab Saudi untuk menyebarkan ideologinya. Tinta kelam mewarnai kemunculan kelompok ini. Ribuan darah dialirkan demi memuaskan ambisi sekte ini. Bertopeng memerangi ahli bidah, mereka tanpa ampun menghunus pedang membabi buta.
Bila fakta mengatakan demikian, pantaskah golongan ini disebut Ahlussunah wal Jamaah? Betulkah ajaran mereka sesuai dengan panduan Rasulullah dan para shahabat?.
Saharudin Yusuf/IstinbaT
- Sunan Ibnu Majah, volume II/493.
- Sunan Abi Dawud, volume XII/196, Musnad Imam Ahmad, volume XXV/68, dan Al-Mu’jam al-Kabîr, volume XIV/30
- Tafsir Ibnu Katsir, volume I/419, cetakan Darus-Salam.
- Said Faudah, Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, www.azahera.net.
- Muhammad Abu Zahrah, Târîkhul-Mazâhib al-Islâmîyah, halaman 52 dan 57.
- Syekh Muhammad az-Zabidi, Ithâf Sâdâtul-Muttaqîn, volume II/6.