Sadar atau tidak, masyarakat Indonesia tergolong kategori yang kebanyakan penduduknya masih mempercayai praktik perdukunan. Alih-alih berobat ke dokter, mereka justru memilih konsultasi kepada orang yang dianggap sakti. Tidak hanya untuk berobat, bagi mereka dukun adalah tempat untuk mengadu segala persoalan hidup dari mulai masalah ekonomi, perjodohan dan lain-lain. Bagaimana syariat memandang praktik demikian? Berikut wawancara Mohammad Iklil dari Buletin Tauiyah kepada K.H. Muhibbul Aman Aly, salah satu Dewan Pakar Annajah Center Sidogiri.
Apakah praktik perdukunan dibenarkan menurut syariat?
Istilah dukun dalam istilah bahasa Indonesia memiliki banyak pengertian. Ada dukun itu orang yang bisa mengobati, orang yang mempunyai ilmu hitam atau santet dan lain sebagainya. Ada pula dukun sebagai istilah bagi orang yang bisa menebak-nebak. Oleh karena itu, kembali pada istilah barusan, pertama, apabila istilah dukun diarahkan bukan untuk berobat, melainkan dengan tujuan untuk meramal, maka hal seperti ini tidak diperbolehkan apabila tujuannya bertentangan dengan syariat. Apalagi mendatangi dukun dengan tujuan mencelakai orang lain, jelas tidak boleh. Namun, apabila tujuannya tidak bertentangan dengan syariat -bukan untuk pengobatan- misalnya untuk wasail kepada perkara mubah seperti untuk menjaga rumah supaya aman, mendapat rezeki yang lancar, maka seperti ini diperbolehkan.
Baca Juga : Mewaspadai Praktik Perdukunan dan Ramalan
Kedua, apabila dukun yang dimaksudkan adalah orang yang ahli dalam pengobatan yang disebut dengan Tabib, maka dalam hal ini masih terdapat rincian. Ada yang cara pengobatannya dengan media yang ada wujudnya, seperti obat-obatan, jamu-jamu tradisional. Ada pula dengan non-media atau kasat mata yang biasa disebut dengan ruqyah, yakni pengobatan dengan media yang berbentuk nyata, tapi dengan permintaan kepada Dzat Yang Maha Menyembuhkan. Kedua hal ini diperbolehkan tergantung dengan bagaimana cara yang dilakukan.
Bagaimana cara benar seperti yang Anda maksud?
Adapun pengobatan ala non-medis, ketentuannya adalah kalimat yang dibaca atau mantranya menggunakan kalimat thayyibah, bisa dari al-Qur’an atau zikir, tidak dengan kalimat-kalimat yang bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu, ulama mengatakan mantra-mantra yang menggunakan selain bahasa Arab itu khilaf. Pendapat pertama mengatakan tidak boleh. Misalnya menggunakan bahasa Suryani, bahasa Jawa yang tidak diketahui maknanya. Tidak diperbolehkan karena khawatir isi redaksinya bertentangan dengan syariat. Pendapat kedua boleh asalkan dikutip dari orang saleh, seperti pendapat yang telah dinukil oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Fatâwâ Hadîtsiyah. Karena apabila yang mengutip orang saleh, maka tidak mungkin isinya bertentangan dengan syariat.