Dalam dunia tasawuf tidak ada perbedaan antara pria dengan wanita, tetapi umumnya para sufi adalah pria. Sebut saja Jalaluddin Rumi, al-Ghazali, dan Abdul Qadir al-Jaelani. Satu-satunya sufi wanita yang paling sering disebut adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Nama lengkapnya adalah Ummu al-Khair Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah. Beliau tergolong wanita sufi yang paling terkenal dalam sejarah Islam. Dia dilahirkan sekitar tahun 95 H (713 M) di kota Basrah di Iraq. Dia disebut Rabi’ah karena ia putri keempat dari Ismail. Sedangkan Adawiyah adalah karena dia berasal dari bani Adawiyah.
Corak tasawwuf
Pada masa itu, yang berkuasa di Basrah adalah Bani Umayyah. Hidup mewah mulai meracuni masyarakat terutama di kalangan istana. Melihat kondisi demikian, kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban untuk menyerukan pada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh dan tidak tenggelam dalam kemewahan. Sedikit demi sedikit kehidupan zuhud mulai menyebar luas di kalangan masyarakat. Di antara tokoh sufi yang juga ikut mewarnai perkembangan tasawuf pada masa itu adalah Rabi’ah al-Adawiyah.
Rabi’ah al-Adawiyah adalah sufi wanita yang memberi nuansa tersendiri dalam dunia tasawuf dengan pengenalan konsep mahabbah.
Beliau lahir dalam sebuah lingkungan keluarga yang miskin. Menjelang dewasa, ujian terus menerus menerpanya. Keadaan itu semakin buruk setelah beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Tidak sampai disana, beliau juga harus berpisah dari kakak-kakaknya. Puncaknya terjadi ketika beliau ditangkap oleh penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah sebagai budak. Pada keluarga ini ia bekerja keras, namun dengan pertolongan Allah kemudian ia dibebaskan, karena tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah. Walaupun diterpa berbagai cobaan, hal itu tidak membuat beliau bersedih hati dan putus asa, bahkan membuat beliau semakin giat untuk melakukan ibadah. Rabi’ah yang seumur hidupnya tidak pernah menikah, dianggap mempunyai peran yang besar dalam memperkenalkan konsep “Cinta Allah” dalam tasawuf. Beliau merupakan pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah). Dia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Sebuah konsep pendekatan diri kepada Tuhan atas dasar kecintaan, bukan karena takut akan siksa neraka ataupun mengharap surga. Cinta Rabiah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan.
Cinta Ilahi dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam maqam sufi tak ubahnya maqam ma’rifat.
Beliau meninggal pada tahun 185 H/801 M dan dimakamkan di Bashrah. Rabiah adalah seorang zahidah sejati. Di kota ini namanya sangat harum sebagai seorang manusia suci dan seorang pengkhotbah.
/annajahcentersidogiri.id