Dalam ajaran Wahabi, ziarah kubur, istighatsah dan tawasul adalah perbuatan syirik yang bikin pelakunya musyrik. Para peziarah kubur, pelaku istighatsah dan tawasul tak ubahnya penyembah berhala pada zaman dahulu kala. Salah satu dalil yang dibuat justifikasi adalah QS. Yunus: 106 (artinya), “Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudarat kepadamu selain Allah.”
Menurut dedengkot Wahabi (Ibnu Abdil Wahab), para penyembah patung menjalani ritual mereka murni sebagai sarana pendekatan diri. Mereka tidak meyakini patung kuasa menciptakan sesuatu, sebab hanya Allah lah yang mampu melakukannya.
Hal ini seperti tertulis dalam QS. Az-Zumar: 03 (artinya), “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya,” serta QS. Az-Zuhruf: 87 (artinya), “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah.” Karena itu, kata Wahabi, orang-orang yang bertawasul, beristighatsah, dan berziarah kubur pada masa sekarang, adalah episode lanjutan para penyembah Latta dan Uzzah pada masa lampau. Benarkah demikian?
Argumentasi di atas patut kita pertanyakan. Antara penyembah berhala dengan pelaku tawasul terpisah ngarai menganga yang sepantasnya diperhatikan. Perbedaan keduanya sangat subtansial, sebab meskipun penyembah berhala meyakini patung tidak kuasa menciptakan sesuatu, namun hati mereka mempercayai kalau patung-patung itu berhak disembah dan diagungkan sebagai tuhan.
Berbeda dengan orang yang bertawasul, mereka tidak pernah menyekutukan Allah SWT, sebab dalam hati, tidak pernah terbesit kalau para nabi, para wali, atau orang-orang shalih yang dibuat pelantara berhak dijadikan tuhan. Justru, mereka yakin seyakin-yakinnya jika semuanya tadi adalah makhluk dan hamba Allah SWT.1
Karena itu, KH. Khanthabrani (ulama kharismatik Bangkalan pembela Ahlussunah wal Jamaah) menyampaikan, “Sebodoh-bodohnya orang madura tidak beranggapan Syaikhana Kholil adalah tuhan,” dalam sebuah ceramah, menepis tuduhan tawasul dan ziarah kubur syirik oleh pengikut Wahabi di bumi Madura.
Saharudin Yusuf/Annajah.co
Catatan Akhir:
1. Sayid Ahmad Zaini Dahlan, Fitnatul-Wahhâbiyah, 67-68, Dar asy-Syafaqah, Istanbul.