Suatu hari, shahabat Zaid bin Tsabit menshalati jenazah. Setelah pelaksanaan shalat selesai, beliau keluar dan seseorang membawakan hewan tunggangannya untuk beliau naiki. Ibnu ‘Abbas datang lalu mengambil alih tunggangan tersebut dan membawanya ke hadapan Zaid bin Tsabit.
Sontak Zaid bin Tsabit berkata, “Tolong lepaskan saja wahai sepupu Rasulullah!”. Ibnu ‘Abbas dengan santai menjawab, “Demikianlah kami diperintahkan memuliakan para ulama dan para tokoh besar”.
Merasa tidak enak dimuliakan, Zaid bin Tsabit langsung mencium tangan Ibnu ‘Abbas lalu berkata, “Demikianlah kami diperintah memuliakan keluarga Nabi kami”.
Kisah ini diriwayatkan oleh as-Sya’bi dan dikutip oleh al-Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’-nya.
***
Cerita di atas merupakan gambaran betapa hebatnya para shahabat dalam menghormati keluarga Rasulullah ﷺ. Mereka sadar bahwa kecintaan mereka kepada Rasulullah ﷺ meniscayakan cinta kepada seluruh keluarganya. Begitu juga sebaliknya, betapa tawaduknya keluarga Rasulullah ﷺ menghormati orang-orang alim dari umat ini. Mereka sadar bahwa kecintaan mereka terhadap Rasulullah ﷺ meniscayakan cinta kepada para pewarisnya.
Relasi para ulama dan para keluarga Rasulullah ﷺ sejak masa salaf terbilang sangat mesra dan harmonis. Keduannya saling menghormati satu sama lain dan bersinergi untuk membangun nilai-nilai agama di tubuh umat Islam. Keduanya adalah pilar agama yang tidak akan berpisah hingga umat ini menemui Nabinya di telaga Kautsar.
Gesekan antara ulama dan habaib yang terjadi akhir-akhir ini tak lain adalah buah dari upaya untuk merusak keharmonisan yang sudah terbangun semenjak 14 abad yang silam.
Sayidina Abu Bakar pernah berkata:
وَاللَّهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي
“Demi Allah, aku lebih senang menjalin hubungan dengan keluarga Rasulullah daripada keluargaku sendiri.” (HR. Al-Imam al-Bukhari)
Baca Juga:Ketika Nasab Habaib Dipertanyakan
Dalam salah satu gubahan syiirnya, al-Imam asy-Syafi’i berkata:
إِنْ كَانَ رَفْضًا حُبُّ آلِ مُحَمَّدٍ * فَلْيشْهِدِ الثَّقَلَانِ أَنِّي رَافِضِي
“Sekiranya dengan mencintai Ahli Bait Nabi Muhammad dituduh Syiah-Rafidhi, maka saksikanlah wahai jin dan manusia bahwa aku adalah Syiah-Rafidhi.” (Hilayatul-Auliyâ’, IX/152)
Para kiai sejak masa lalu telah memberikan nasehat betapa pentingnya menghormati ahli bait, baik dari pernyataan maupun sikap. Bahkan Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan yang merupakan maha guru para kiai di Nusantara sangat menghormati para ahli bait Nabi.
Meminjam dawuh al-Maghfurlah K.H. Maimoen Zubair, beliau dawuh:
“Mulyakke dzurriyyah Nabi iku ora kerono kesholehan utowo kealimane, anangeng kerono iku keturunane Kanjeng Nabi. Yen dzurriyyah nabi iku alim, utowo sing diarani ithrotur rosul, mongko dobel olehe kito kudu mulyakke“.
Bachrul Widad | Annajahsidogiri.id