Agama Islam terdiri dari tiga komponen pokok sebagai pondasi utama kokohnya sebuah ajaran agama, tiga komponen pokok tersebut terdiri dari akidah, syariat dan akhlak atau lebih dikenal dengan tasawuf. Dalam kehidupan modern yang lebih akrab dengan sebutan generasi milenial, kita memiliki sebuah tantangan besar dalam menerapkan ajaran agama dikarenakan beberapa kendala yang semuanya merujuk pada pesatnya perkembangan teknologi, sehingga banyak yang meragukan pada praktek tasawuf pada era modern ini dan timbullah pertanyaan “masih relevankah tasawuf di zaman yang serba instan dan penuh tekanan tehnologi modern”?, untuk menjawab itu mari kita simak bersama hasil wawancara Saiful Arifin dari Annajahsidogiri.id pada KH. Muhibbun Amman Aly selaku Rais Syuriah PBNU Pasuruan.
Ketika kita membahas tasawuf ada banyak perbedaan pendapat ulama’ yang menyentuh 50 lebih pendapat, namun semua itu merujuk pada satu pemahaman, yakni “mendekatkan diri kepada Allah dengan membersihkan hati dalam beribadah”. Istilah tasawuf adalah ilmu untuk membersihkan jiwa yang dalam agama Islam disebut dengan Ihsân, kata Ihsan sendiri berawal dari hadits Jibril yang ketika itu Rasulullah ﷺ memberi istilah pada pada sahabat perihal tiga komponen pokok Islam, pertama: Iman yang di kenal dengan ilmu akidah atau tauhid yang terkumpul dalam rukun iman, Kedua: Islam dikenal dengan ilmu syari’at yang mengajarkan amaliah keseharian baik dalam ibadah, muamalah/transaksi yang terkumpul dalam rukun islam, kemudian yang ketiga: Ihsan lebih dikenal dengan akhlak yakni cara kita mendekatkan diri pada Allah ﷻ.
Baca Juga: Nabi Saleh dan Unta Betina
Dalam kitab Arba’in-Nawawi hadist tentang Ihsan yang diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab menjelaskan tentang ritual cara kita beribadah seakan-akan melihat Allah, jika tidak memungkinkan maka beribadahlah dengan kesadaran penuh bahwa Allahﷻ senantiasa mengawasi kita.
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِحْسَانِ. قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Kemudian dalam tasawuf sendiri ada banyak hal yang perlu kita ketahui, salah satunya adalah tarbiyah atau ajaran untuk menerapakan Tasawuf, beberapa ulama’ ada yang mendirikan tharîqah sebagai ritual untuk membersihkan hati seorang agar bisa beribadah dengan murni. sedangkan terkait tharîqah ulama’ membagi menjadi dua, ada yang mu’tabarah dan ghairu mu’tabarah.
Tharîqah mu’tabarah adalah sebuah tharîqoh yang dibangun untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ tanpa meninggalkan nilai syari’at sedikitpun, ada beberapa tharîqoh mu’tabarah yang aktif hingga saat ini, di antaranya adalah An-Naqsyabandi, As-Syadzili, Al-Qadiri, At-Tijani dan lain-lain yang masing-masing dari tharîqah ini aktif baik di ormas dan juga di kalangan masyarakat pada umumnya.
Kedua adalah tharîqah ghairu mu’tabarah yakni sebuah ajaran yang mengaku mendekatkan diri kepada Allah ﷻ akan tetapi mengalihkan kewajiban syari’at dengan cara sibuk dengan ritual hingga bahkan meninggalkan shalat, dan ini banyak kita temukan di berbagai kalangan sesat dengan berkedok thariqah.
Baca Juga: Tasawuf yang Benar Versi Ahlusunah Waljamaah
Dari definisi tasawuf serta penerapannya, bisa kita pahami bahwa tasawuf bukan tentang relevan atau tidaknya, akan tetapi Tasawuf termasuk salah satu tegaknya komponen agama Islam sehingga tidak bisa lepas dari ajaran agama dan pengamalannya, termasuk pemahaman yang salah jika ada orang yang mengatakan kalau Tasawuf tidak penting atau tidak relevan. Akhir-akhir ini banyak orang salah paham dengan menganggap Tasawuf adalah orang sufi yang khumul dengan memakai baju compang-camping dan tidak suka dunia, padahal perlu digaris bawahi bahwa Tasawuf itu tentang amaliah hati, jadi letak penerapan serta nilainya adalah hati bukan penampilan. Dari pentingnya tasawuf kita sering dengar sebuah perkataan Imam Madzhab Muhammad bin Idris As-Syafi’i:
مَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ، وَمَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّق
“Barang siapa yang mempelajari fiqih (ilmu agama) namun tidak bertasawuf, maka ia bisa menjadi fasik. Dan siapa yang bertasawuf tanpa mempelajari fiqih, maka ia bisa menjadi zindik (sesat). Dan siapa yang menggabungkan keduanya, maka sungguh ia telah meraih (hakikat kebenaran).”
Maqalah ini menunjukkan pentingnya menggabungkan antara aspek lahir syariat (fiqih) dan aspek batin (tasawuf). Meski sebagian ulama memperdebatkan kesahihan atribusi maqalah ini kepada Imam as-Syafi‘i, kandungannya sejalan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam.
Saiful Arifin | Annajahsidogiri.id