Sudah tidak asing lagi di telinga kita, ketika mendengar kata Syiah, tidak akan terlepas dari konsep imamah, karena bagi Syiah, imamah merupakan senjata utama untuk menguatkan ajaran-ajaran pokok mereka, tanpa imamah, maka ajaran-ajaran pokok mereka yang lain akan rapuh dan mudah retak.
Lantas, apakah konsep imamah kaum Syiah, yang menyatakan bahwa sayyidina Ali adalah orang yang ditunjuk langsung oleh Rasulullah untuk meneruskan estafet kepemimpinan khilafah, itu benar adanya? dan apakah Sayyidina Ali sendiri meyakini bahwa beliaulah yang paling berhak untuk menyandang khalifah pertama pasca wafatnya Rasulullah?
Dalam hal ini, Imam al-Kulaini (imam panutan Syiah) mengutip sebuah riwayat dari al-Imam Muhammad al-Baqir, beliau berkata:
اِنَّ الِامَامَ عَلِيَّ لَمْ يَدْعُ الَى نَفْسِهِ وَانَّهُ اَقَرَّ الْقَوْمَ عَلَيٌّ مَا صَنَعُوا وَكَتَمَ امْرَهُ
Artinya:‘’ Sesungguhnya sayyidina ali tidak pernah mendeklarasikan dirinya untuk menjadi khilafah, bahkan beliau setuju dengan apa yang dilakukan para sahabat )dalam membaiat Abu Bakar sebagai khalifah(, hanya saja beliau menyimpan kesutujuannya itu ,[1]
Dari pernyataan di atas, kita bisa memahami bahwa Sayyidina Ali tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah. Justru beliau ikut dan mendukung para sahabat untuk mengangkat Sayyidina Abu Bakar sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah, dan apa yang dilakukan Sayyidina Ali tersebut merupakan salah satu pedoman Ahlusunnah wal jamaah yang menyakini bahwa khalifah pertama setelah Rasululah adalah Sayyidina Abu Bakar tanpa merebut haknya Sayyidina Ali sedikitpun. hal ini diperkuat dengan sejarah terbunuhnya Sayyidina Usman, yang mana pada saat itu para sahabat dari kalangan Ansor dan Muhajirin mendatangi Sayyidina Ali untuk menganggakat beliau sebagai khalifah, namun Sayyidina Ali menolak permintaan para sahabat itu dan berkata: “tinggalkan saya, dan carilah orang lain, saya lebih baik menjadi wazir (mentri) daripada menjadi seorang khalifah”. Seandainya Sayyidina Ali meyakini bahwa khilafah adalah hak baginya dan merupakan perintah dari Allah, niscaya beliau tidak akan mengatakan:“saya lebih baik menjadi wazir (mentri) daripada menjadi seorang khalifah[2]”.
Terkait hal ini, Syekh Salim Qois al-Hilali menukil sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Sayyidina Ali meyakini bahwa khilafah itu ditentukan dengan sistem musyawarah dan umat Islam mempunyai hak penuh untuk menentukan siapa yang akan dijadikan khalifah. Dalam sebuah surat, Sayyidina Ali berkata: “ wajib hukumnya bagi umat Islam, setelah wafatnya imam mereka, untuk tidak melakukan sesuatu apapun dan tidak membuat keputusan apapun sebelum memilih seorang imam yang baru yang mempunyai sifat adil, warok, alim dan bijaksana”. [3]
Pendapat Sayyidina Ali di atas, itu sama persis dengan apa yang dilakukan oleh para sahabat sejak generasi awal, dan apa yang dilakukan sahabat ini, diakui oleh beliau dengan perkataan dan kelakuan beliau, yaitu dengan pembaiatan yang ia lakukan terhadap Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, dan Sayyidina Usman.
Penentuan Imamah dengan Nas Ketuhanan hanyalah Fiksi
Dari pembahasan sebelumnya, bisa kita pahami bahwa Sayyidina Ali, tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai khlifah dan tidak berkeyakinan bahwa dirinya lah yang paling berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah.
Jika kita telusuri dalam sejarah, maka akan semakin tampak bahwa keyakinan Syiah tentang Sayyidina Ali adalah orang yang ditunjuk Nabi untuk menjadi khalifah, itu hanyalah sebuah fiksi belaka. Karena telah tercatat jelas dalam sejarah bahwa Sayyidina Ali tidak pernah berkata apalagi meykini bahwa hanya beliau lah yang paling berhak menjadi khalifah, terbukti setelah peristiwa pembacokan Sayyidina Ali yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Muljam. pada saat itu, umat Islam menemui beliau dan memintanya untuk menunjuk puntranya, Sayyidina Hasan sebagai khlifah. Ternyata Syyidina Ali menjawab:”saya tidak mau mengakatnya sebagai khalifah”. Hanya saja para sahabat terus mendesak sayyidina Ali seraya berkata: “jika kamu tidak mau untuk menunjuknya sebagai khalifah, maka kami yang akan mengankatnya”.
Lalu dengan santainya Sayyidina Ali menjawab:
لا امركم ولا انهاكم انتم ابصر
“Saya tidak menyuruh dan tidak melarang kalian, Kalian lebih tau tentang hal itu”[4]
Dari sekelumit cerita di atas, andai kaum Syiah mau berpikir sedikit saja, maka mereka bisa memahami bahwa dalam konsep imamah tidak ada yang namanya wasi (orang yang mendapat wasiat langsung untuk menjadi khalifah), apalagi nas ketuhanan yang menjadi penentu, karena realitanya Sayyidina Ali tidak pernah mendeklarasikan dirinya dan putra-putranya, beliau tidak menyuruh kaumnya untuk membaiat putra-putranya apalagi berwasiat kepada mereka, bahkan beliaulah yang mendukung untuk bermusyawarah dalam memilih seorang khalifah.
Hasani | annajahsidogiri.id
[1] Raudatul Kafi al-Kulaini, hal 240.
[2] Biharul Anwar, juz 8. hal 555
[3] Kitabu Salim Bin Qais, hal 182
[4] Raudatul Kafi al-Kulaini , hal 293