Sahabat Sahabat #SerialAkidahAwam yang diberkahi oleh Allah ﷻ, sekarang kita akan membahas tentang sifat kalam Allah yang tercakup dalam nazam yang berbunyi:
فَقُـدْرَةٌ إِرَادَةٌ سـَمْـعٌ بـَصَرْ * حَـيَـاةٌ الْعِلْـمُ كَلاَمٌ اسْـتَمَرْ
“Kemudian sifat kodrat, iradat, samak, basar, hayat, ilmu dan kalam secara terus berlangsung.”
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
وَكَلَّمَ اللّٰهُ مُوْسٰى تَكْلِيْمًاۚ
“Allah telah benar-benar berbicara kepada Musa (secara langsung).” (QS. An-Nisâ’ [4]:164).
Dalam surah Al-A‘râf, Allah juga menyebutkan:
وَلَمَّا جَاۤءَ مُوْسٰى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهٗ رَبُّهٗۙ
“Ketika Musa datang untuk (bermunajat) pada waktu yang telah Kami tentukan (selama empat puluh hari) dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya.” (QS. Al-A‘râf [7]:143).
Ayat di atas menjelaskan, bahwa Allah ﷻ berbicara dengan Nabi Musa. Seandainya Allah ﷻ tidak memiliki sifat kalam, tentu Allah bersifat dengan kebalikan sifat itu, yaitu bisu (bukmun), tentu bisu adalah sifat kurang yang mustahil bagi Allah ﷻ yang Mahasempurna.
Sifat kalam Allah adalah sifat qadîm (tidak memiliki permulaan) yang menetap pada Dzat Allah, tidak berupa huruf ataupun suara, serta menunjukkan terhadap semua yang diketahui oleh Allah ﷻ. Hal tersebut sebagaimana yang didefinisikan oleh Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitab Jalâ’ul-Afhâm Syarhu Aqîdatil-Awâm hlm. 28. Sesuai dengan definisi di muka, maka segala hal yang dapat menetapkan sifat baru (hâdits), seperti bersuara, berhuruf, berawalan, dan berakhiran, itu tidak patut disandarkan kepada sifat kalam Allah ﷻ yang sempurna dari segala kekurangan.
Lantas, Bagaimana dengan Al-Qur’an ?
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa Al-Qur’an yang kita baca dengan lisan, ditulis dalam mushaf, didengar oleh telinga dan dijaga dalam hati itu terdiri dari huruf dan suara. Lantas, apakah Al-Qur’an itu qadîm (tidak memiliki permulaan)?
Maka, perlu kita ketahui bersama bahwa Al-Qur’an (lafaz-Lafaz mulia yang diturunkan pada Nabi Muhammad ﷺ) itu makhluk, sebab Al-Qur’an tersebut berbentuk suara dan huruf. Akal tidak mungkin menerima, jika ada suatu huruf atau pun suara yang tidak memiliki permulaan. Al-Qur’an itu menunjukkan terhadap maksud (madlûl) dari kalam Allah ﷻ yang qadîm. Sehingga, andaikan Allah membuka hijab, kemudian kita memahami —dari kalam Allah yang qadîm— akan tuntunan melaksanakan shalat, misalnya, niscaya kita akan menemukan bahwa pemahaman tersebut selaras dengan firman Allah[1] yang berupa:
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ
“Dirikanlah shalat.”
Akan tetapi, kita tetap tidak boleh mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, meskipun yang kita maksud adalah Al-Qur’an yang kita baca. Sebab, hal tersebut bisa menimbulkan praduga salah bahwa yang makhluk adalah kalam Allah yang qadîm. Wallâhu a‘lam bis-shawâb.
Muhammad Shobir khoiri | Annajahsidogiri.id
[1] Al-Imam Ibrahim al-Baijuri, Jauharatut-Tauhîd, hlm. 49.