Dalam kehidupan sosial, kita pasti tidak akan terlepas dari konflik, hal itu karena dilandasi pendapat dan cara pandang yang berbeda-beda. Terjadinya konflik menurut kita merupakan sebuah kejelekan. Namun, jika konflik terjadi pada orang mulia, bahkan kredibelitasnya tidak diragukan lagi seperti para shahabat Nabi ﷺ, bagaimana kita harus bersikap?
Takrif Shahabat
Secara bahasa shahabat adalah orang yang sudah lama berkumpul, mengikuti, dan mengaji kepada Nabi ﷺ. Namun, menurut Syekh Abdis-Salam, shahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi ﷺ dalam keadaan Islam dan juga mati dalam keadaan Islam, meski pernah murtad sebelumnya.
Baca Juga: Siapakah Shahabat Nabi?
Keagungan Para Shahabat
Sebenarnya keagungan para shahabat Nabi ﷺ sudah banyak dijelaskan oleh ulama, salah satunya yang termaktub dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 117;
لَقَدْ تَّابَ اللّٰهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ فِيْ سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْۢ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيْغُ قُلُوْبُ فَرِيْقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْۗ اِنَّهٗ بِهِمْ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ۙ
“Sungguh, Allah telah menerima tobat Nabi ﷺ, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka.” (QS. at-Taubah; 117)
Banyak pula hadis yang menjelaskan keaguangan para shahabat Nabi ﷺ, salah satunya adalah hadis sabda Rasulullah ﷺ yang berbunyi;
“Janganlah kalian mencaci para shahabatku! Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya seorang dari kalian berinfak emas sebesar uhud maka tidak akan menyamai satu mud (raupan tangan) salah satu dari mereka, bahkan tidak setengahnya.” (HR Muslim)
Sikap Ahlusunah Pada Pertikian Shahabat
Imam Ibrahim al-Laqqani dalam‘Umdatul-Murid serta Imam Ibrahim al-Bajuri dalam Tuhfatul-Murid menjelaskan bahwa sikap yang harus kita ambil adalah menakwil pertikaian para shahabat pada sesuatu yang membuat sifat keadilan dan kredibelitasnya tidak tergores. Hal ini bila ia punya kemampuan dalam menakwil. Contohnya, menakwil konflik Sayidina Muawiyah dengan Sayidina Ali, bahwa pertikaian mereka karena dilandasi ijtihad masing-masing.
Namun, bila tidak memiliki kemampuan dalam menakwil seperti orang awam, sebaiknya tidak berkomentar dan diam seribu bahasa, karena bagaimanapun ia tidak tahu cara dan konsep dalam menakwil, sehingga bila tetap memaksa maka dikhawatirkan ia masuk pada kategori orang yang mencaci shahabat. (‘Umdatul–Murid/III/1135, Tuhfatul–Murid SyarhiJauharah–Tauhid/165)
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menegaskan, Ahlusunah sepakat bahwa wajib melarang menyalahkan atau mencela salah satu shahabat sebab hal yang terjadi (peperangan), meskipun diketahui siapa yang benar di antara mereka. Karena mereka tidak ikut berperang dalam peperangan itu, kecuali berdasarkan ijtihad. Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa Allah SWT menegaskan bahwa rida kepada golongan yang pertama masuk Islam dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Jadi, sungguh celaka mereka yang membenci dan mencaci para sahabat atau sebagian sahabat. Wallahu a’lam.
Iqbal Ramadhani | annajahsidogiri.id