Di era postmodern seperti sekarang, di sebagian daerah barangkali sudah menjadi hal tabu apabila orangtua memaksakan perkawinan putrinya. Jika dulu wanita perkotaan mencari pasangannya sendiri, sepertinya kebiasaan itu sudah merambat ke pelosok desa. Maka tidak mengherankan apabila ada seorang wanita kabur dibawa pacarnya lantaran tidak mau dinikahkan dengan lelaki pilihan orangtuanya. Jikapun ada wanita yang terpaksa menerima lelaki pilihan orang tuanya, mereka malah merasa bahwa pernikannya adalah pemerkosaan yang direstui. Atau mereka akan menulis curhatan di akun sosial medianya “saya bagaikan Siti Nurbaya di abad milenium”
Bagaimana sebernya fikih menyikapi pernikahan ala Siti Nurbaya ini?
di dalam kitab fikih, kita mengenal istilah wali. Wali adalah salah satu dari rukun nikah yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan. Tanpa ada restu dari wali, sebuah pernikahan tidak akan dianggap sah. Dalam hal ini, yang berperan menjadi wali adalah ayah kandung atau kakek si wanita.
Oleh karena peran wali sangatlah fital di sini, maka bagi wali Mujbir (ayah kandung atau kakek) boleh menikahkan anak perempuanya meski tanpa persetujuan si wanita. bahkan seandainya si wanita sudah punya calon suami pilihannya sendiri, maka menurut qaul ashah seorang wali tetap lebih berhak menikahkan anaknya dengan lelaki pilihan wali tersebut. karena pandangan orangtua terhadap kebahagiaan seorang anak pasti lebih sempurna.1
akan tetapi, seorang wali boleh memaksa pernikahan putrinya asal memenuhi dua syarat berikut. Pertama, putrinya harus seorang gadis (perawan), berdasarkan sebuah hadis riwayat Imam Daruquthni:
والبكر يزوجها أبوها
“Yang menikahkan seorang gadis adalah ayahnya” (H.R. Muslim)
Bedahalnya jika yang dinikahkan adalah janda. Maka wali tidak berhak untuk menikahkan janda tanpa ada izin terlebih dahulu dari janda tersebut.2
Kedua, lelaki pilihan sang wali haruslah sepadan (kufu’) dengan putrinya. Sehingga sang wali tidak boleh menikahkan putrinya dengan lelaki yang tidak setara. Karena sang wali juga harus mementingkan kebahagiaan putrinya di masa mendatang.
Ulama berbeda pendapat mengenai kesepadanan antara lelaki dan wanita yang akan di nilkahkan. Pendapat yang di anggap kuat oleh Imam Nawawi dan Imam Rafii, adalah kedua mempelai harus sepadan dalam beberapa hal di bawah ini:
- Nasab 2. Keredibilitas (adil) 3. Merdeka 4. Keilmuan 5. Kesalehan.
Namun, ulama masih memberi catatan dalam masalah ini. kedua mempelai sudah dianggap sepadan meskipun si laki-laki dan para leluhurnya lebih unggul daripada si wanita dalam beberapa hal di atas. Akan tetapi seandainya si wanita atau para leluhurnya lebih unggul satu saja dari beberapa keriteria di atas, maka kedua mempelai tidaklah dianggap sepadan.3
Oleh sebab itu, kita menjadi tahu, meskipun islam memperbolehkan seorang wali memaksa pernikahan anak gadisnya, tidak serta merta islam mengabaikan hak-hak seorang wanita. Pemaksaan tersebut haruslah didasari tujuan untuk membahagiakan si anak. Karena yang menjalani bahtera rumahtannga yang rumit adalah anak gadisnya dengan si lelaki sebagai nahkodanya. Agar sang anak tidak merasa bahwa pernikahannya adalah pemerkosaan yang direstui.
Baqir Madani/Annajah.co
Catatan akhir:
- (Syarhul Mahalli Alal Minhaj)
- (Asnal Mathalib, vol 3/126)
- (Bughyatul Musytarsyidin, vol 1/435)