Dalam Islam, vonis kafir merupakan hal yang dianggap berat. Ulama ahlusunah sangatlah berhati-hati dalam melabeli seseorang dengan status kafir. Selagi masih ada alasan untuk tidak mengafirkan, maka mereka akan memilihnya dan menghindari pengafiran, sebab ketika ada yang menyatakan kafir pada seseorang maka hukum-hukum orang kafir akan berlaku padanya.
Meski banyak ulama yang mewanti-wanti untuk tidak mengafirkan sesama muslim, tetapi ada beberapa orang dengan mudahnya melontarkan tuduhan kafir terhadap sesama muslim hanya gara-gara bebeda haluan dan pengamalan beragama. Parahnya, tuduhan semacam itu sering kali keluar dari mulut seseorang yang minim ilmu agama. Penyebab seseorang berpaham radikal takfiri ini biasanya karena terpengaruh kelompok ekstrem tertentu.
Mereka yang mudah melontarkan tuduhan kafir terhadap sesama muslim seakan tidak mengindahkan peringatan Rasulullah dalam hadisnya;
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Barang siapa yang memanggil seseorang dengan panggilan kafir ataupun musuh Allah padahal kenyataanya tidak demikian, nisacaya tuduhan itu akan Kembali pada dirinya sendiri.” (HR.Bukhari).
Dari hadis ini para ulama mengambil prinsip kehati-hatian untuk tidak mudah mengafirkan seseorang yang masih tergolong ahlu-qiblat, karena yang mengetahui hakikat keimanan seseorang hanyalah Allah. Sebagaimana pendapat Imam al-Ghazali dalam kitab Bidayatul-Hidayah;
وَلَا تَقْطَعْ بِشَهَادَتِكَ عَلَى أَحَدٍ مِنَ أَهْلِ اْلِقبْلَةِ بِشِرْكٍ أَوْ كُفْرٍ أَوْ نِفَاقٍ؛ فَإِنَّ المُطَّلِعِ عَلَى السَّرَائِرِ هُوَ اللهُ تَعَالَى
“Janganlah memastikan kesaksianmu atas seseorang ahli kiblat (muslim) dengan kekafiran, syirik ataupun munafik, karena yang maha mengetahui rahasia seseorang hanyalah Allah.” (Bidayatul-Hidayah.hal.69).
Dalam kitab ushul fikih, Jam’u al-Jawami’, terdapat sebuah kaidah yang menjadi acuan ulama agar senantiasa berhati-hati dalam urusan vonis kafir;
وَلاَنُكَفِّرُأَحَدًا مِنْ اَهْلِ اْلقِبْلَةِ
“Kita tidak akan mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat”.
Dari keterangan ulama di atas kita bisa memahami bagaimana kehati-hatian para ulama dalam urusan ini. Andaikan kita menemukan hal-hal yang mengarah pada kekafiran pada saudara kita, selagi masih ada alasan untuk tidak mengafirkannya, maka menetapkannya sebagai muslim itu lebih baik. Salah dalam memaafkan mungkin tidak terlalu berat dari pada salah dalam memberi hukuman. Hal ini senada dengan pendapat yang Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishad Fil I’tiqad;
“وَالَّذِيْ يَنْبَغِيْ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ :”التَّكْفِيْرُ” مَا وَجَدَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا، فَإِنَّ اسْتِبَاحَةَ الدِّمَاءِ وَاْلأَمْوَالِ مِنَ المُصَلِّيْنَ إِلَى اْلِقبْلَةِ، المُصَرِّحِيْنَ بِقَوْلِ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ خَطَأٌ، وَالخَطَأُ فِي تَرْكِ أَلْفِ كَافِرٍ فِي الحَيَاةِ أَهْوَنُ مِنَ اْلخَطَأِ فِي سَفْكِ دَمٍ لِمُسْلِمٍ”
“Hal yang seharusnya dihindari adalah takfir (mengakafirkan), selagi masih ada jalan untuk menghindarinya. Karena menghalalkan darah dan harta orang muslim yang masih salat menghadap kiblat, yang jelas-jelas mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan kekeliruan. Keliru membiarkan seribu orang kafir tetap hidup itu lebih ringan dari pada keliru dalam membunuh satu orang muslim.”. (al-Iqtishad Fil I’tiqad. hal.81)
sejatinya ulama sangat berhati-hati dalam urusan mengafirkan, apalagi kita yang minim wawasan agama harus lebih berhati-hati untuk tidak mudah mengafirkan sesama muslim hanya berbeda haluan. Wallahu a’lam
Muhammad Nuruddin | Annajahsidogiri.id