Islam merupakan agama yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ melalui wahyu yang Allah ﷻ turunkan kepada beliau. Syariat-syariat Islam tak lain hanya merupakan rambu-rambu ilahi yang harus kita laksanakan. Wahyu tersebut melalui proses yang tidak sebentar. Bermula dari ar-Ru’yâ ash-Shâlihah (mimpi yang baik) kepada beliau, hingga turunnya al-Baqarah 281 yang merupakan ayat terakhir yang turun; sembilan hari sebelum Rasulullah ﷺ wafat dan setelah beliau melakukan haji Wada’. Sesuai penuturan Syekh Wahbah dalam kitabnya, at-Tafsîr al-Munîr. Namun, tidak sedikit para pemikir liberal yang berusaha merusak syariat Islam. Mereka dengan seenaknya berasumsi bahwa syariat Islam merupakan hasil impor dari budaya Arab. Buktinya, kata mereka, sangat banyak syariat Islam yang menjadi tradisi Arab, seperti hijab, jubah, cadar dan lain sebagainya.
Bagaimana kita menanggapi asumsi tersebut ? Untuk menjawabnya ada beberapa hal yang perlu kita cermati.
Syariat Merupakan Wahyu Ilahi
Jika melihat sejarah dan fakta, maka tentu pernyataan di atas salah dan tidak berdasar. Karena, banyak kitab-kitab yang menjelaskan bagaimana proses munculnya syariat, yaitu menggunakan Al-Qur’an yang tak lain merupakan wahyu Tuhan yang turun kepada baginda Rasulullah, kemudian disampaikan kepada para shahabat dan seterusnya sampai zaman sekarang.
Dari sini, bisa kita pahami bahwa sebenarnya Rasulullah ﷺ tidak menyampaikan sesuai kehendak beliau. Melainkan apa yang Rasulullah sampaikan merupakan wahyu yang Allah ﷺ turunkan kepada beliau. Bukan menggunakan hawa nafsu beliau. Hal ini sudah Allah ﷻ sampaikan dalam firmannya:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌۭ يُوحَىٰ
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS. An-Najm [53]: 3-4).
Dari ayat ini, al-Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ hanya mengucapkan apa yang Allah ﷻ perintahkan kepadanya dan menyampaikannya kepada manusia secara lengkap dan berlimpah, tanpa penambahan atau pengurangan sedikitpun.
Tradisi Orang Arab pada Zaman Jahiliyah
Selain itu, sebenarnya pernyataan mereka bahwa syariat Islam merupakan produk budaya adalah pernyataan yang tak berdasar dan tidak melirik terhadap sejarah Arab pada masa jahiliyah. Sebab, perlu kita pahami, bahwa di era jahiliyah orang Arab memiliki tradisi thawaf dalam keadaan telanjang bulat. Bahkan, Islamlah yang mengubah kebiasaan buruk tersebut; dari yang semula telanjang menjadi berbusana dan menutup aurat.
Dari sini bisa kita cermati, bahwa sebenarnya tradisi seperti bercadar, berbusana tertutup merupakan ajaran yang Allah perintahkan, sehingga mengubah tradisi keji orang Arab pada zaman jahiliyah. Hal tersebut Allah sebutkan dalam firman-Nya:
وَاِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً قَالُوْا وَجَدْنَا عَلَيْهَآ اٰبَاۤءَنَا وَاللّٰهُ اَمَرَنَا بِهَاۗ قُلْ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاۤءِۗ اَتَقُوْلُوْنَ عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, ‘Kami mendapati nenek moyang kami melakukan yang demikian, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak pernah menyuruh berbuat keji. Mengapa kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Al-A’raf [7]: 28)
Al-Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa maksud fâhisyah dalam ayat ini menurut mayoritas ulama tafsir adalah kebiasaan (orang Arab jahiliyah) thawaf di Baitullah sambil telanjang.
Kesimpulannya, syariat Islam bukanlah produk budaya melainkan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ. Sedangkan, cadar atau lainnya itu bukanlah ajaran Arab melainkan ajaran Islam. Maka, tidak dapat dibenarkan pernyataan bahwa cadar merupakan tradisi Arab. Sebab, realitanya, tradisi Arab sendiri adalah telanjang. Sehingga, Islam datang untuk meluruskan tradisi itu, yaitu dengan perintah menutup aurat. Wallâhu a‘lam.
Moh Zaim Robbani | Annajahsidogiri.id