Kerap kami temukan, baik dalam tulisan atau buku-buku orang Wahabi, keterangan yang menetapkan anggota badan kepada Allah. Di antaranya, ketika mereka memahami ayat berikut:
يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلَا يَسْتَطِيعُونَ
“Pada hari saq (betis) disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa” (QS. Al-Qalam [68]: 42).
Menurut mereka arti sâq di yang tercantum di dalam ayat di atas adalah betis. Paham seperti ini sering kami temukan dari beberapa artikel mereka internet. Yang kesimpulannya adalah Allah memiliki betis, namun betis-Nya tidak sama dengan betis para makhluk. Apakah pengertian seperti di atas dapat dibenarkan?
Sebelum kita bahas lebih dalam, perlu kita ketahui bahwa untuk mengungkapkan suatu hal, di dalam bahasa Arab sering diungkapkan dengan serangkaian kata yang mampu mewakili ekspresi tertentu yang tersirat di dalamnya serta memberi makna lebih. Ungkapan seperti ini lebih disebut dengan “idiom”. Contohnya, untuk mengekspresikan bahwa seseorang itu “keras hati”, dalam bahasa Arab sering diungkapkan dengan lafaz “a‘mâ” (buta), seperti dalam firman Allah:
وَمَنْ كَانَ فِيْ هٰذِهٖٓ اَعْمٰى فَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ اَعْمٰى وَاَضَلُّ سَبِيْلًا
“Dan barang siapa buta (hatinya/keras hati) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 72).
Sedangkan, lafaz as-sâq yang tertera pada QS. Al-Qalam: 42 secara zahir memang tersandar kepada Allah. Tapi, bisakah kita artikan bahwa Allah memiliki betis ? Tentu jawabannya tidak.
Menurut shahabat Ibnu Abbas, makna dari lafaz as-sâq pada QS. Al-Qalam: 42, adalah huru-hara atau kekacauan pada hari Kiamat, sebagaimana riwayat yang disebut oleh al-Imam at-Thabari:
ذِكْرُ مَنْ قَالَ ذَلِكَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْمُحَارِبِيُّ، قَالَ: ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، {يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ} [القلم: ٤٢] قَالَ: هُوَ يَوْمُ حَرْبٍ وَشِدَّةٍ
Muhammad bin Ubaid al-Muharibi meriwayatkan kepadaku, ia berkata: Abdullah bin Al-Mubarak menceritakan kepada kami, dari Usama bin Zayd, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas perihal ayat (Hari dimana as-sâq tersingkap) beliau berkata: Ini adalah hari perang dan kesusahan (huru-hara).[1]
Baca Juga; Memahami Makna Wajhullah
Dengan artian, saat suatu keadaan mencekam baik dalam peperangan dan semacamnya, orang Arab kerap mengekspresikannya dengan “tersikapnya betis”. Jadi, memang sepertinya kita tidak bisa mengartikan lafaz itu sebagai sebuah anggota yang berada pada Dzat Allah sebagaimana asumsi kaum Wahabi diatas. Sebenarnya, tanpa bertanya pun para shahabat sudah mampu memahaminya, sebab frasa atau idiom semacam ini sudah menjadi percakapan sehari-hari mereka.[2]
Sementara itu, jika kita telaah asumsinya lebih lanjut, akan kita sadari terjadinya kerancuan dalam berideologi tentang ketuhanan. Pertama, paham secara harfiyah saja, mampu menetapkan bahwa Allah memiliki anggota badan, dan jika Allah mempunyai anggota badan niscaya Allah serupa dengan kita. Sedangkan, itu mustahil bagi Allah.
Kedua, dalam dalil mereka untuk menetapkan as-sâq (betis) kepada Allah. tercantum dengan lafad nakirah yang bisa berfaidah irâdatul-wahdah (untuk menunjukkan arti satu). Dengan artian, Allah memiliki satu betis saja. Bukankah hal ini adalah sebuah makna kekurangan dan kerendahan yang disandarkan kepada Allah?
Ketiga, jika nanti Allah akan menyikap betis-Nya, berarti sebelumnya Allah tertutup oleh sesuatu hal dan hal itu bisa meliputi anggota yang Allah miliki. Allah pun masih butuh menyikap tirai itu untuk memperlihatkan betisnya. Apakah pantas hal semacam ini kita sandarkan kepada Allah.[3] Wallâhu a‘lam bish-shawâb.
Ahmad Kholil | Annajahsidogiri.id
[1] Abu Jakfar Ibnu Jarir at-Thabari, Jâmi‘ul-Bayân, juz. 23, hlm. 187. https://shamela.ws/book/7798/44025#p1.
[2] Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna at-Taimi al-Bashri an-Nahwi, Majâzul-Qur’ân, hlm. 16..
[3] Abdul Qadir Isa Diyab, al-Mîzân al-‘Âdil li Tamyîzil-Haq minal-Bâthil, hlm. 144-115.