Akidah atau keyakinan adalah aspek paling pokok dalam agama Islam. Akidah yang benar harus menjadi landasan bagi setiap Muslim yang sudah mukalaf, karena itu satu-satunya hal yang bisa menggaransi diterimanya segala amal baik dan ibadah seorang hamba, sehingga mengantarkannya pada kebahagiaan yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.
Karena persoalan akidah ini begitu urgen, maka para ulama sejak zaman salaf telah menulis kitab-kitab akidah dalam berbagai bentuknya yang beragam. Salah satu isi dari kitab-kitab akidah tersebut adalah panduan dalam menanamkan akidah kepada generasi umat Islam sejak usia dini, agar akidah benar-benar tertanam dengan kuat dalam jiwa anak-anak, dan semakin mengakar kuat seiring pertumbuhan mereka menuju dewasa.
Penanaman aspek akidah atau keimanan sejak kanak-kanak ini bukan perkara baru, bahkan telah berlangsung sejak zaman salaf. Dalam sebuah hadis riwayat al-Imam Ibnu Majah dijelaskan:
عَنْ جُنْدُبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ فَتَعَلَّمْنَا الْإِيمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا
Diriwayatkan dari Jundub bin Abdullah, ia berkata: “Ketika kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada saat itu kami merupakan sosok pemuda-pemuda yang kuat. Kami belajar iman sebelum mempelajari al-Quran. Setelah itu kami mempelajari al-Quran, maka dengan begitu bertambahlah keimanan kami.” (HR. Ibnu Majah).
Salah satu ulama yang memberikan uraian tentang bagaimana cara menanamkan dan menguatkan akidah adalah al-Imam al-Gazali. Dalam mahakaryanya, Ihya’ ‘Ulumiddin, beliau membuat bab khusus di bawah judul “Kitabu Qawa‘idil-‘Aqa’id”. Di sini beliau memaparkan secara padat tentang akidah pokok umat Islam yang terkandung dalam dua kalimat syahadat, yaitu beriman kepada Allah subhanahu wa ta‘ala dengan segenap sifat kesempurnaan-Nya, dan beriman kepada Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenarkan segala apa yang beliau bawa.
Setelah itu, al-Imam al-Gazali memaparkan bahwa akidah pokok tersebut hendaknya dibacakan kepada anak-anak sehingga mereka menghafalnya di luar kepala. Setelah mereka hafal, maka poin-poin akidah itu perlu diterangkan supaya mereka bisa memahami maksudnya. Baru setelah mereka faham, mereka bisa membenarkan, meyakini, dan menyejatikan makna-makna akidah itu dalam diri mereka.
Dengan melihat pemaparan dari al-Imam al-Gazali di atas, berarti penanaman akidah yang telah dipraktikkan di Indonesia ini sudah on the right track, karena sejak pendidikan usia dini, anak-anak sudah dibimbing untuk menghafalkan materi-materi akidah melalui lagu-lagu. Setelah menginjak tingkatan Ibtidaiyah awal, hafalan itu terus disempurnakan dengan memberi materi semacam kitab kitab ‘Aqidatul-‘Awam, dan materi itu semakin dikembangkan di Ibtidaiyah tingkat akhir, semisal dengan memakai kitab Kifayatul-‘Awam, lalu dilanjutkan di tingkat Tsanawiyah pada kitab semacam Ummul-Barahin.
Barangkali sampai di sini sebagian pembaca ada yang timbul tanya; jika penanaman akidah didikte semacam itu, bukankah hasilnya berarti mereka hanya bertaklid belaka? Sedangkan keimanan orang yang bertaklid tidak aman dari bahaya gangguan akidah yang ada di sekitar mereka, yang membikin akidah mereka rentan terkontaminasi atau bahkan terdisrupsi.
Maka di sini diperlukan penguatan akidah. Jadi setelah tahap “penanaman” yang berupa menghafal, memahami, dan menyejatikan akidah dalam diri, tahapan berikutnya adalah tahap “penguatan dan pemantapan”, yang insya-Allah akan penulis jelaskan pada tulisan selanjutnya.
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri