Dari sekian banyak ajaran Syiah, mungkin taqiyyah lah yang paling menjadi pembeda antara ideologi Syiah dan Ahlusunah wal Jamaah dalam segi ajaran amaliah. Ibnu Katsir dalam an-Nihayah mengartikan taqiyyah dengan menyembunyikan apa yang ada dalam hati. Akan tetapi, sekte Syiah menafsiri bahwa taqiyyah berarti seseorang yang berkata dan berbuat tidak sebagiamana yang ia yakini guna mencegah jiwa dari apa yang mencelakainya. Seperti halnya bila orang tersebut beragama di tengah-tengah orang yang tidak seagama dengannya. Paham taqiyyah model inilah yang paten wajib ditegakkan bagi personalia penganut ajararan Syiah ketika berinteraksi dengan orang yang tidak sepaham dengan mereka. Selaras dengan apa yang difatwakan Jawad Mughniyah (salah satu pembersar mujtahid Syiah komtemporer).
Ulama Syiah dalam kitab as-Syiah fil-mizan, memecah taqiyyah menjadi dua macam, satu Makhakatiyah, yaitu taqiyyah yang disebabkan karena ketakutan akan adanya bahaya, khususnya dalam bidang akidah mereka. Dua madaratiyyah yang merupakan taqiyyah untuk menjaga perasaan orang yang berbeda dengannya demi terjalin sebuah hubungan yang naik antara kedua belah pihak. Jenis taqiyyah kedua inilah yang sepertinya lenih mendekati pada kata diplomasi, karena kata tersebut mencakup pada prilaku yang luas dan dapat digunakan lebih jauh untuk pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain “bermuka dua”. Mereka menampakkan jati dirinya yang hakiki ketika berhadapan kepada sesama Syiahnya. Dan mengubur dalam-dalam kebusukan ideologi mereka saat berinteraksi dengan golongan yang tidak sepaham dengan mereka. Contohnya kita, Ahlusunah wal Jamaah.
Baca Juga: Kitab Suci Versi Syiah
Tidak cukup itu, mereka juga mengatakan bahwa pembaiatan Sayidina Ali kepada Sayidina Abu Bakar, Umar dan Utsman, serta bermakmumnya Sayidina Ali kepada mereka baik dalam salat berjamaah atau dalam perkara lain, seperti penetapan hukum, akad transaksi dan interaksi-interaksi lain hanyalah sebatas taqiyyah belaka. Mereka juga menganggap bahwa pemimpin mazhab empat juga taqiyyah sebagaimana fatwanya. Imam Abu Hanifah tatkala ia berfatwa akan bolehnya meninggalkan salat dan puasa bagi seorang yang dipaksa. Imam Malik dipaksa untuk menjalankan diplomasi tingkat tinggi dengan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Beliau menggunakan surah ‘Ali Imran ayat 28 sebagai pembenaran. Imam asy-Syafii mereka anggap ber-taqiyyah ketika berfatwa terkait dengan seseorang yang bersumpah palsu atas nama Allah karena ada unsur paksaan maka ia tidak perlu membayar kafarat atau denda. Imam al-Ghazali meriwayatkan atas wajibnya melindungi darah kaum Muslim meskipun itu berdusta. Dan imam-ima lainnya bisa dibaca di dalam kitab Ushul Madzhab asy-Syiah al-Itsna Asya’riyah.
Ini semua jelas bertolak-belakang dengan taqiyyah yang dipaham oleh Ahlusunah wal Jamaah. Ahlusunah wal Jamaah tidak menafikan adanya taqiyyah karena pernah dilakukan oleh Shahabat Ammar bin Yasir dan Bilal bin Rabah. Akan tetapi, mereka hanya melakukannya pada kondisi yang sangat mendesak karena disiksa oleh kaum musyrik sehingga turunlah surah an-nahl ayat 106 seperti apa yang dijelaskan Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Asbabun-Nuzul.
Penulis: Ahmad Kholil | Kaderisasi Annajah MMU Tsanawiyah